Oleh : Bung Forbes
KAB BURU , Namlea ( Maluku ) – Sebuah wacana kebijakan mengemuka ketika para penambang di areal Gunung Botak sedang berjibaku dengan teriknya sinar matahari dan deras hujan hanya demi untuk menyambung hidup .
Saat mereka sedang bermimpi dan berjanji pada keluarga untuk memberikan hadiah Natal dan Tahun Baru , tiba – tiba dikejutkan oleh Pemprov Maluku dengan satu keputusan tentang penataan areal tambang emas Gunung Botak .
Itu artinya seluruh penambang harus kosongkan areal tersebut atau turun dari atas sangat ironis memang .
Pemberian Izin Usaha Pertambangan ( IUP ) kepada koperasi terdengar amat pro rakyat , dengan berbagai narasi oleh Pemprov Maluku hingga membentuk satgas penertiban yang terdiri dari Dinas ESDM Maluku , Polisi , dan TNI .
Pemprov Maluku mencoba menjustifikasi bahwa penertiban dilakukan demi pemerataan ekonomi lewat peran koperasi .
Namun penerapan penertiban areal Gunung Botak dengan konsep ekonomi tidak dapat menjadi justifikasi untuk mengorbankan kelestarian lingkungan , supremasi hukum , dan tatanan masyarakat adat sebagai pemegang hak ulayat atas lahan di Gunung Botak .
Memberi izin tambang kepada koperasi tanpa persiapan matang dan kerangka regulasi yang kokoh bukanlah solusi , melainkan jalan pintas menuju krisis yang lebih dalam dan kompleks .
Sektor pertambangan bukanlah ladang untuk eksperimen kebijakan guna mewujudkan tujuan menarik para korporasi yang akan mendopleng pada koperasi dan berbagi hasil dengan Pemprov , ini sangat beresiko tingkat tinggi .
Jika ditelaah secara mendalam melalui lensa yuridis , ekologis , dan tata kelola , kebijakan Pemprov Maluku ini menjadi sebuah pertaruhan berisiko tinggi yang dapat melahirkan bencana lingkungan baru . Apalagi mengabaikan pemilik lahan .
Tanpa kerangka regulasi yang komprehensif dan kapasitas institusional yang memadai , niat baik untuk memberdayakan entitas ekonomi kerakyatan justru akan menjadi karpet merah yang membentangkan jalan menuju kerusakan sistemik .
Kegiatan pertambangan rakyat yang selama ini terjadi di Gunung Botak biarpun ilegal , namun secara ekonomi telah menjadi tulang punggung penopang kehidupan ratusan keluarga .
Mendorong koperasi untuk masuk ke arena ini adalah sebuah keputusan yang error. Ini sama saja dengan meminta seorang sopir untuk mengemudikan sebuah kapal tanker.
Kebijakan ini menempatkan koperasi pada posisi yang sangat rentan di mana mereka hampir pasti akan gagal atau lebih buruk lagi menjadi alat bagi kepentingan korporasi besar dan Pemprov .
Sebab sektor pertambangan diklasifikasikan sebagai industri yang sangat deregulasi dengan payung hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ( UU Minerba ) .
Regulasi tersebut menetapkan serangkaian prasyarat yang ketat bagi pemegang izin koperasi dengan kekuatan finansial untuk investasi dari eksplorasi hingga reklamasi pasca tambang .
Kapasitas teknis berupa penguasaan teknologi dan personel berkualifikasi , kewajiban lingkungan mutlak seperti AMDAL dan dana jaminan reklamasi , serta Keselamatan FCn dan Kesehatan Kerja (K3) yang komprehensif .
Korporasi besar memiliki hubungan dengan koperasi pertambangan di Maluku dan khususnya di Kab Buru . Mereka yang memasok modal , peralatan dan fasilitas pengolahan yang pada akhirnya mendominasi areal Gunung Botak dan memberikan sedikit ruang bagi koperasi untuk beroperasi secara mandiri dan transparan .
Hubungan ini dapat menciptakan tantangan bagi koperasi pertambangan rakyat . Ketergantungan pada korporasi tambang untuk modal dan sumber daya lainnya dapat membatasi kemampuan koperasi untuk beroperasi .
Dimana struktur koperasi terkadang dapat dipengaruhi oleh entitas korporasi yang berpotensi mempengaruhi tujuan untuk mendukung penambang lokal .







