Editorial oleh: Muz MF. Latuconsina
Desa kehilangan ruh demokrasi ketika dipimpin oleh penjabat yang tak dipilih rakyat. Itulah pesan tersirat dari pernyataan Wakil Gubernur Maluku, Abdullah Vanath, saat peletakan batu pertama Pusat Layanan Haji dan Umroh Terpadu (PLHUT) di Namlea.
Ia mengingatkan, Penjabat Kepala Desa (Pj Kades) tidak memiliki ikatan langsung dengan rakyat, melainkan kepada pihak yang menunjuknya.
Beda halnya dengan pemimpin yang lahir dari proses demokrasi, seperti gubernur dan wakil gubernur, atau bupati dan wakil bupati.
Mereka memikul tanggung jawab langsung kepada rakyat yang memberi mandat melalui pemilihan kepala daerah.
Ada hubungan timbal balik antara suara rakyat dan kinerja pemimpin yang dipilih.
Sementara itu, penjabat kades hanya memegang mandat dari pemberi SK, sehingga orientasi kerja mereka sering condong ke atas, bukan ke bawah.
Masalah ini bukan sekadar soal teknis pemerintahan desa, tetapi menyentuh jantung akuntabilitas publik.
Penjabat yang terlalu lama memegang jabatan tanpa mekanisme pemilihan rawan mengabaikan aspirasi warga.
Rakyat pun hanya menjadi penonton dalam drama kekuasaan yang seharusnya mereka bintangi.
Praktik memperpanjang masa jabatan penjabat kades memang kerap dianggap solusi sementara.
Namun “sementara” itu sering berubah menjadi “terlalu lama” sehingga mematikan ruang demokrasi desa.
Keterlambatan pemilihan kepala desa definitif adalah bentuk pembiaran yang bisa merugikan pembangunan, pelayanan publik, dan rasa keadilan warga.
Pemerintah daerah dan pihak terkait harus segera memastikan bahwa masa jabatan penjabat hanyalah jembatan menuju pemilihan definitif, bukan jalan tol menuju stagnasi demokrasi.
Desa adalah ujung tombak pelayanan publik dan pembangunan. Maka yang memimpinnya pun harus memiliki legitimasi dari rakyat, bukan semata mandat dari atas.
Pernyataan Abdullah Vanath ini seharusnya tidak berhenti sebagai kutipan berita.
Ia mesti menjadi alarm bagi semua pihak bahwa demokrasi di tingkat desa tak boleh dikompromikan demi alasan praktis. Kepemimpinan tanpa legitimasi rakyat hanyalah administrasi tanpa jiwa.
Kaperwil Maluku (SP)