Guru Besar di bidang Logam/Kimia Anorganik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pattimura, Prof. Dr. Yusthinus Thobias Male, S.Si., M.Si., menyatakan dukungannya terhadap upaya pemulihan Kali Anhoni di Kabupaten Buru.
Menurut Prof. Male, kondisi Kali Anhoni saat ini sudah sangat mengkhawatirkan dan membahayakan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya langkah hukum dan administratif dari pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi Maluku, untuk segera melakukan pengangkatan sedimen yang mengendap di sungai tersebut.
“Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Gubernur Maluku, mengambil tindakan nyata agar dampaknya tidak semakin membahayakan,” ujar Prof. Male di Namlea, Kamis, (4/9/2025)
Prof. Male juga menyampaikan dukungannya terhadap langkah yang diambil oleh PT Global Emas Bupolo (GEB) di bawah pimpinan Direktur Utama Mansur Latakka, yang berinisiatif melakukan pemulihan kawasan tersebut.
“Langkah yang diambil oleh PT GEB adalah bentuk kepedulian terhadap potensi kerusakan lingkungan yang lebih parah, dan itu perlu kita dukung,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa siapa pun yang memiliki niat baik untuk menyelamatkan lingkungan, harus mendapatkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat.
“Siapa pun dia, jika tujuannya untuk menyelamatkan lingkungan, maka harus kita dukung,” tegasnya.
Sudah Teliti Sejak 2013
Prof. Male juga mengungkapkan bahwa dirinya telah meneliti kawasan Gunung Botak sejak tahun 2013, termasuk mengambil sampel tanah yang dibawa ke Australia untuk diuji lebih lanjut.
Menurutnya, merkuri (raksa) yang digunakan dalam aktivitas penambangan emas di wilayah tersebut sangat berbahaya. Zat logam berat ini tidak bisa dikonsumsi oleh manusia dan tidak bisa masuk ke rantai makanan tanpa menimbulkan risiko serius bagi kesehatan dan lingkungan.
“Merkuri masuk ke ekosistem itu melalui tanah. Tanah itu berasal dari tromol, dan secara teori, sekitar 30 persen merkuri akan hilang ke lingkungan dalam bentuk pencucian,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa saat merkuri dibakar dalam proses pemisahan emas, asapnya akan menguap namun karena berat, ia hanya akan menyebar sekitar seratus meter dan kemudian turun kembali ke tanah, di mana ia diserap oleh tanaman. Bila merkuri berada di sungai, logam berat itu akan mengendap di dasar sungai karena berat jenisnya yang 14 kali lebih besar dari air.
Yang menjadi perhatian serius, lanjut Prof. Male, adalah Teluk Kaiely, yang memiliki populasi mangrove sangat padat, dan menjadi kawasan penting bagi biota laut untuk bertelur dan berkembang biak. Lumpur tercemar merkuri dari Kali Anhoni akan tertahan di kawasan mangrove tersebut, sehingga berpotensi mengancam seluruh ekosistem laut di wilayah itu.
“Ini yang menjadi potensi sekaligus musibah. Kalau tidak segera ditangani, dampaknya bisa sangat luas,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan penelitian sejak tahun 2017, sekitar 15 persen merkuri yang terlepas ke lingkungan sudah dapat diserap oleh makhluk hidup. Saat ini, ia memperkirakan situasinya sudah jauh lebih parah.
Kaperwil Maluku (SP)







