Aksi Sunyi La Darman: Antara Harapan, Perjuangan, dan Kelalaian yang Terlupa

Oleh: Muz MF. Latuconsina

Di bawah terik matahari Ambon yang menyengat, Senin, 21 Juli 2025, seorang pria berdiri sendiri dengan spanduk lusuh yang digenggam erat. Namanya La Darman.

Bacaan Lainnya

 

Selama delapan tahun, ia mengabdi sebagai tenaga honorer di Kantor Urusan Agama (KUA) Namlea, Kabupaten Buru.

 

Sebuah pengabdian sunyi yang hari itu meledak menjadi sebuah aksi protes di depan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Maluku.

 

Ia tidak terpilih sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Bagi La Darman, itu bukan sekadar kabar buruk, tapi seperti pintu harapan yang tiba-tiba ditutup rapat di hadapan wajahnya.

Maka ia melawan dengan cara yang ia bisa—berdiri sendiri, membawa suaranya yang tertahan selama ini.

 

Namun di balik narasi perjuangan itu, ada realita yang tak bisa ditepikan. Berdasarkan penelusuran internal, ketidaklulusan La Darman bukan karena konspirasi atau ketidakadilan sistem, melainkan akibat dari kelalaiannya sendiri dalam memenuhi salah satu tahapan proses seleksi.

Dia tidak teliti mengisi dokumen, ketidaktelitian membaca syarat yang ditentukan—semua menjadi bagian dari sebab akibat yang tak bisa diabaikan.

 

Aksi itu menyentuh banyak hati, terutama mereka yang tahu apa artinya bertahun-tahun hidup di pinggir birokrasi tanpa kepastian. Tapi kenyataan tetaplah kenyataan.

Dalam seleksi berbasis meritokrasi dan keteraturan regulasi, setiap langkah kecil menentukan hasil akhir.

La Darman memang gagal, tapi suaranya sudah sempat menggema di jalanan Ambon. Meski sepi, ia telah menunjukkan bahwa kegagalan pun bisa diwarnai keberanian. Namun ini juga menjadi pengingat bagi siapa saja: dalam perjuangan hidup, semangat saja tak cukup—ketelitian, kesiapan, dan tanggung jawab pribadi adalah bagian dari jalan yang harus dilalui.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *