Analisis Sosial-Ekonomi dan Politik atas Penolakan Koperasi di Gunung Botak

Oleh: Muz MF. Latuconsina-

 

Bacaan Lainnya

Gunung Botak (GB), kawasan tambang emas di Kabupaten Buru, menyimpan cerita panjang tentang perebutan kepentingan. Sejak aktivitas pertambangan meledak lebih dari satu dekade lalu, berbagai upaya legalisasi, termasuk pembentukan koperasi rakyat tambang, terus menuai penolakan dari sebagian kalangan.

Siapa mereka yang menolak? Apa motif di balik keinginan agar GB tetap berada dalam status “abu-abu” atau ilegal? Analisis ini mengurai persoalan tersebut dari sisi sosial, ekonomi, dan politik.

1.Kelompok-Kelompok Penolak: Siapa Mereka?

a. Aktor lokal pemilik kuasa informal
mereka adalah individu atau kelompok yang telah lama menguasai alur distribusi, akses lokasi, dan jual beli emas secara tradisional dan informal. Biasanya punya hubungan dekat dengan pemodal besar (cukong). Bagi mereka, legalisasi via koperasi mengancam dominasi dan keuntungan besar tanpa pajak.

b. Penambang bebas yang tak Ingin terikat aturan
sebagian penambang lokal menolak koperasi karena takut diatur: harus setor iuran, tunduk pada SOP keselamatan, dan hanya bisa menjual ke koperasi dengan harga stabil. Padahal, dalam sistem ilegal, mereka bisa bernegosiasi bebas—meski sering dieksploitasi.

c. Pengusaha gelap dan “bos kecil”
mereka adalah perantara modal, pembeli emas mentah, dan penyedia logistik (bahan kimia, mesin, dll) yang tidak ingin transparansi masuk. Legalitas dan koperasi berarti audit, pembukuan, dan potensi kehilangan monopoli harga.

2. Mengapa Mereka Menolak Koperasi?
a. Koperasi Membawa Transparansi
Dengan koperasi, setiap transaksi akan tercatat dan keuntungan dibagi secara adil. Ini tentu merugikan pihak-pihak yang selama ini bermain dalam kegelapan dan mengeruk untung besar tanpa pengawasan.

b. Ketakutan terhadap pajak dan regulasi
legalitas berarti kewajiban pajak, kewajiban lingkungan, dan tanggung jawab sosial. Padahal selama ini keuntungan maksimal justru diperoleh dari minimnya tanggung jawab.

c. Koperasi mengancam struktur kuasa tradisional
dalam sistem ilegal, kekuasaan dipegang oleh mereka yang punya uang. Koperasi justru memberikan suara kepada penambang kecil yang selama ini tak terdengar. Ini dianggap sebagai pembalikan tatanan sosial yang menguntungkan segelintir elite tambang.

3. Dampak kika GB tetap ilegal
kerusakan lingkungan berlanjut: Tanpa pengawasan, penggunaan bahan kimia berbahaya terus mencemari tanah dan air.

Kekerasan dan sengketa lahan: Tanpa sistem hukum yang sah, konflik antarkelompok mudah meledak.

Pemasukan daerah hilang: kabupaten dan provinsi tidak bisa memungut retribusi atau pajak yang sah dari tambang ilegal.

Kemiskinan Struktural: Penambang tetap miskin karena sistem upah yang tidak adil dan ketergantungan pada tengkulak.

4. Apa yang bisa dilakukan?
pendidikan kolektif dan sosialisasi koperasi
masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa koperasi bukan alat pemerintah untuk “mengatur”, melainkan sarana untuk melindungi dan menyejahterakan.

Kemitraan koperasi dengan investor sah
menggandeng investor resmi yang bermitra dengan koperasi bisa jadi jalan tengah: legal, aman, dan menguntungkan semua pihak.

Penolakan terhadap koperasi dan legalisasi tambang Gunung Botak tidak terjadi dalam ruang kosong. Ia berkait erat dengan kekuasaan informal, ekonomi rente, dan ketakutan terhadap perubahan tatanan. Namun jika dibiarkan, yang terjadi adalah kerugian besar bagi daerah, lingkungan, dan rakyat penambang sendiri. Saatnya memilih: terus dalam kegelapan, atau menata masa depan GB dalam terang hukum dan kesejahteraan kolektif.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *