Jakarta, 18 Agustus 2001.
Di bawah langit Jakarta yang berat oleh awan dan kegelisahan zaman, Aziz Hentihu berdiri di tepi jalan—di depan pagar tinggi Kedutaan Besar Amerika—seakan berdiri di antara dua dunia: dunia yang diam, dan dunia yang menuntut untuk didengar.
Angin siang itu membawa aroma aspal panas dan debu, tetapi juga membawa semangat yang sejak pagi sudah berkecamuk di dada Aziz. Ia bukan sekadar berdiri sebagai seorang demonstran; ia berdiri sebagai suara yang lahir dari luka-luka panjang, dari harapan yang tak pernah benar-benar padam.
Di tangannya, sebuah poster sederhana. Bukan hanya tulisan—melainkan gema dari keyakinan bahwa kata-kata dapat mengubah sesuatu, sekecil apa pun. Setiap huruf seakan dipahat dari keberanian; setiap kalimat mengandung doa agar dunia tidak terus berjalan dengan mata tertutup.
Orang-orang lewat memandang. Sebagian tersenyum simpati, sebagian acuh, sebagian lainnya hanya berhenti sejenak, mencoba membaca lebih dari sekadar apa yang tertulis. Dan di situlah pelajarannya—bahwa aksi tak harus gaduh, tak harus penuh teriakan. Kadang, pelajaran paling tajam muncul dari keheningan yang dipilih dengan sadar.
Aziz berdiri tegak, seperti tiang kecil yang menantang badai besar. Keringat di pelipisnya jatuh sebagai saksi, bahwa perjuangan seringkali adalah ritual kesabaran. Ia tahu, ia mungkin tak mengubah dunia hari itu. Tapi ia percaya, setidaknya satu orang akan pulang dengan pikiran yang sedikit berbeda, dengan hati yang sedikit lebih peka.
Dan barangkali, dari situlah perubahan menemukan jalannya—dari jalan raya yang bising, dari poster lusuh yang diangkat tangan yang lelah, dari seorang manusia yang memilih tidak diam.
Pada hari itu, Aziz Hentihu tidak hanya melakukan aksi. Ia memberi pelajaran. Pelajaran tentang keberanian kecil yang tetap penting, tentang suara yang pantas didengar, dan tentang harapan yang, meski sering terpukul, selalu memilih untuk bangkit lagi.
Kaperwil Maluku (SP)







