Balada Sopi: Antara Harapan Hidup dan Pembawa Petaka

Oleh: Muz MF. Latuconsina

Sopi. Sebuah nama yang tak asing di telinga masyarakat Maluku. Ia bukan sekadar minuman tradisional, melainkan bagian dari denyut kehidupan rakyat kecil.

Bacaan Lainnya

 

Dari lereng-lereng pegunungan, asap tungku menyembul di pagi hari, menandakan bahwa para penyuling mulai bekerja menyuling nira menjadi sopi, menyalakan harapan untuk menafkahi keluarga.

 

Bagi sebagian orang, sopi adalah berkah. Dengan menjualnya, para penyuling dapat membeli beras, membayar uang sekolah anak, bahkan memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga.

Ia hadir sebagai solusi ekonomi alternatif di tengah sulitnya lapangan kerja dan minimnya perhatian negara terhadap sektor ekonomi informal di pelosok negeri.

 

Tak sedikit rumah tangga yang bergantung hidup dari tetes-tetes bening hasil sulingan ini.

 

Namun, di sisi lain, sopi juga membawa petaka. Dalam banyak peristiwa di Maluku, sopi menjadi pemicu utama kekacauan sosial, kriminalitas, bahkan kematian.

Pertikaian berdarah antar warga, kecelakaan lalu lintas, kekerasan dalam rumah tangga, hingga hilangnya nyawa anak-anak muda di tikungan malam, banyak yang bermula dari botol sopi yang beredar bebas tanpa kendali.

 

Inilah ironi terbesar dari minuman ini: satu sisi menjadi penyambung hidup, di sisi lain menjadi penyebab kehancuran hidup. Sopi murah meriah, tapi bayarannya bisa sangat mahal nyawa dan masa depan.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Melarang total produksi dan peredaran sopi bukanlah solusi realistis.

 

Pendekatan represif selama ini hanya menyasar gejalanya, bukan akar persoalan. Razia demi razia dilakukan, namun sopi tetap mengalir, karena sumber penghidupan masyarakat belum diganti dengan yang setara.

 

Sudah saatnya pemerintah mengambil jalan tengah yang lebih bijaksana dan manusiawi.

 

Pertama, legalisasi terbatas dengan sistem pengawasan ketat. Pemerintah daerah dapat menginisiasi pembentukan koperasi atau sentra produksi sopi rakyat.

Di bawah koperasi, penyuling diberi pelatihan tentang keamanan produksi, kadar alkohol, hingga tata niaga yang sehat.

 

Hasil produksi kemudian diuji laboratorium, diberi label resmi, dan hanya boleh dijual di tempat dan waktu tertentu.

 

Kedua, pemerintah perlu menetapkan zona produksi tradisional sopi sebagai bagian dari warisan budaya.

 

Di zona ini, sopi tidak sekadar dilihat sebagai minuman, tetapi sebagai produk budaya, ekonomi, bahkan potensi wisata lokal yang dapat diatur dan diawasi.

 

Ketiga, edukasi tentang bahaya konsumsi berlebihan harus dilakukan secara masif. Pemerintah daerah perlu menggandeng tokoh agama, adat, dan pemuda untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang menyentuh, bukan menghakimi.

Masyarakat harus disadarkan bahwa yang berbahaya bukan sopinya, tapi penyalahgunaannya.

 

Dan keempat, yang terpenting, bukalah akses ekonomi alternatif bagi para penyuling. Program pemberdayaan ekonomi harus hadir ke desa-desa.

Jangan biarkan rakyat memilih antara mabuk atau lapar. Sopi menjadi tumpuan karena tidak ada pilihan lain.

 

Balada sopi tidak harus berakhir tragis. Ia bisa tetap menjadi bagian dari jati diri Maluku, jika disikapi dengan bijak.

Pemerintah tak boleh sekadar hadir sebagai pemadam kebakaran ketika tragedi terjadi. Sudah saatnya negara hadir sebelum api membakar, dengan kebijakan yang merangkul, bukan memukul.

 

Karena sopi, pada akhirnya, adalah cermin dari realitas sosial kita — harapan yang bisa menyembuhkan, atau mabuk yang bisa menghancurkan. Tinggal bagaimana kita memilih jalan yang benar.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *