Oleh: Muz Latuconsina
Jika pemerintah tidak segera bertindak, Pulau Buru – dan bahkan wilayah Maluku secara umum sedang berjalan menuju sebuah bencana ekologis dan kemanusiaan yang dapat melampaui imajinasi kita.
Ancaman itu tidak datang dalam bentuk gempa bumi atau tsunami, melainkan dalam senyap. Ia mengalir pelan namun mematikan: melalui air yang tercemar logam berat di Kali Anhoni.
Kali Anhoni, yang membelah sebagian wilayah Kabupaten Buru, telah menjadi tempat pembuangan berbagai limbah, terutama dari aktivitas penambangan emas yang tidak ramah lingkungan.
Kandungan merkuri yang ditemukan di sungai ini, menurut hasil riset terbaru dari dua ahli Universitas Pattimura (UNPATTI), Prof. Male dan Dr. Netty, telah mencapai level yang sangat membahayakan bagi kehidupan manusia dan ekosistem.
Mereka menegaskan: “Kali Anhoni kini bukan hanya tercemar, tapi sudah berada dalam kondisi krisis yang dapat menimbulkan bencana kesehatan massal.”
Sungai ini bermuara ke laut. Di sana, merkuri akan memulai siklus pembunuhnya: dimakan oleh plankton, kemudian berpindah ke ikan, dan akhirnya masuk ke tubuh manusia yang mengonsumsinya. Ini bukan teori. Ini sejarah yang berulang.
Minamata: Peringatan dari Jepang yang Terlupakan
Mari kita mundur sejenak ke tahun 1950-an di Teluk Minamata, Jepang. Ribuan orang menderita penyakit misterius.
Anak-anak lahir dengan kecacatan berat, banyak yang kehilangan kemampuan bicara, mendengar, bahkan bergerak. Setelah bertahun-tahun, terungkap bahwa sumbernya adalah limbah merkuri dari pabrik kimia yang dibuang ke laut.
Makanan laut yang terkontaminasi menyebabkan tragedi kemanusiaan yang hingga kini menjadi luka sejarah bangsa Jepang. Nama “Penyakit Minamata” bahkan diabadikan sebagai peringatan global tentang bahaya merkuri.
Kini, kita melihat pola yang sama di Buru.
Mengapa Ini Lebih Menyeramkan?
Berbeda dengan Minamata yang terjadi dalam satu kawasan industri, kondisi di Kali Anhoni berpotensi menyebar lebih luas.
Laut Maluku adalah sumber mata pencaharian dan konsumsi protein utama bagi jutaan penduduk.
Jika pencemaran ini tidak segera dihentikan dan dipulihkan, kita bukan hanya akan melihat anak-anak lahir cacat di Buru, tetapi mungkin juga di Ambon, Seram, Ternate, bahkan sampai Sulawesi. Ini adalah bom waktu yang sedang berdetak.
Bayangkan seorang ibu di Namlea yang memasak ikan untuk anaknya tanpa tahu bahwa makanan itu telah tercemar racun tak kasat mata.
Bayangkan generasi masa depan Maluku yang terlahir dengan kecacatan otak, gangguan syaraf, dan penyakit kronis lainnya bukan karena kutukan, tetapi karena kelalaian manusia dan pembiaran pemerintah.
Tindakan Nyata atau Menunggu Kematian Perlahan?
Pemerintah – baik pusat maupun daerah – tidak lagi punya ruang untuk berdiam diri. Pemulihan Kali Anhoni harus menjadi prioritas nasional.
Ini bukan sekadar proyek lingkungan, ini adalah penyelamatan masa depan bangsa.
Harus ada moratorium terhadap aktivitas penambangan ilegal, pembersihan dan restorasi sungai secara ilmiah, serta program edukasi bagi masyarakat lokal.
Jika tidak, kita sedang menyambut lahirnya “Minamata kedua” di tanah Maluku. Dan kali ini, kita tidak bisa berkata bahwa kita tidak tahu.
Pulau Buru sedang menangis dalam diam. Sudah saatnya kita mendengarkan. Sebelum racun itu sampai ke darah kita.
Kaperwil Maluku (SP)







