Oleh: Drs. Muz Latuconsina, MF.
Seruan “Bubarkan DPR!” kembali menggema di ruang publik, baik di dunia nyata maupun di jagat maya. Walaupun secara konstitusional hal ini mustahil dilakukan dalam sistem negara demokrasi yang menganut trias politica — di mana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus saling mengimbangi — desakan semacam ini mencerminkan sesuatu yang lebih dalam: krisis kepercayaan rakyat terhadap wakil-wakilnya sendiri.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejatinya adalah lembaga yang lahir dari amanat rakyat, dengan tugas mulia mengawasi pemerintah, membuat undang-undang, dan memperjuangkan aspirasi publik. Namun, idealisme tersebut tampaknya terus tergerus oleh kenyataan yang menyakitkan. Beberapa anggota DPR kerap menjadi sorotan bukan karena prestasi, melainkan karena kontroversi.
Mulai dari pernyataan yang tak sensitif, menunjukkan arogansi, hingga sikap anti-kritik, segelintir anggota dewan terlihat gagal memahami peran mereka sebagai pelayan publik. Kealpaan menjaga lisan dan perilaku di ruang publik seolah menjadi cermin ketidaksiapan mereka mengemban amanah besar tersebut. Lebih parah lagi, tindakan-tindakan ini hanya memperkuat stigma yang sudah lama terbangun: bahwa kursi parlemen lebih dianggap sebagai jalan pintas menuju kekayaan dan kekuasaan, alih-alih sebagai tanggung jawab untuk mengabdi.
Dalam masyarakat yang semakin sadar politik, kombinasi antara tindakan yang tidak mencerminkan etika publik dan kinerja legislatif yang dianggap tidak memuaskan menjadi bahan bakar bagi munculnya seruan emosional seperti “Bubarkan DPR.” Tentu, ini bukanlah solusi yang realistis, melainkan ekspresi kekecewaan mendalam yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Daripada membubarkan lembaga, yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh: mulai dari perekrutan caleg yang lebih selektif, pendidikan etika politik yang kuat, hingga pembentukan mekanisme evaluasi kinerja wakil rakyat secara transparan. Partai politik pun harus introspeksi diri dan berhenti menjadikan pencalonan legislatif sebagai ladang transaksional.
Di tengah merosotnya kepercayaan publik, setiap anggota DPR harus sadar bahwa mereka tak hanya mewakili partainya, tapi juga wajah dari sistem demokrasi itu sendiri. Menjaga tutur kata, sikap, dan integritas bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Jika tidak, seruan-seruan yang tampaknya mustahil hari ini bisa saja menjadi kenyataan pahit di masa depan.
Kaperwil Maluku (SP)