Editorial oleh: Muz MF. Latuconsina.
Buru-fokuspost.com-Kabupaten Buru akhirnya kembali memiliki bupati dan wakil bupati definitif. Setelah tahun-tahun panjang dipimpin oleh penjabat, kini rakyat kembali menaruh harapan pada sosok-sosok yang dipilih secara sah melalui demokrasi. Tapi harapan bukan sekadar tentang siapa yang duduk di kursi pemerintahan—melainkan tentang suara-suara rakyat yang selama ini terbungkam oleh kesunyian.
Sunyi itu nyata. Ia hadir ketika laporan masyarakat tidak direspons. Ia terasa ketika jalan-jalan rusak dibiarkan. Ia terdengar ketika guru-guru di pelosok mengajar tanpa cukup fasilitas. Dan ia sangat menusuk ketika keluarga korban longsor di Gunung Botak menangis tanpa ada pemimpin yang datang menggenggam tangan mereka.
Kini, seratus hari pertama menjadi ujian moral dan politik bagi pemimpin baru. Apakah mereka akan membiarkan sunyi kembali menguasai negeri ini? Atau justru hadir sebagai penjawab keresahan yang selama ini disimpan dalam diam?
Rakyat Buru tidak menuntut hal mustahil. Mereka hanya ingin hadirnya pemimpin yang berpihak. Yang tahu bagaimana rasanya hidup tanpa air bersih. Yang paham arti jalan berlumpur bagi petani. Yang mengerti bahwa sekolah tanpa guru adalah kehampaan yang mematikan masa depan.
Di hari-hari awal ini, sangat penting untuk bergerak cepat. Bukan dengan seremoni dan baliho, tapi dengan kerja konkret. Lihatlah desa-desa yang terputus aksesnya. Dengarlah suara pedagang kecil di pasar Namlea. Tatap mata para ibu yang membawa anak-anak ke Puskesmas tanpa obat. Mereka semua sedang menunggu bukti, bukan basa-basi.
Pemerintahan baru harus berani hadir dalam ruang-ruang yang dulu dibanjiri keluhan. Bangun komunikasi terbuka. Turun ke lapangan. Hapus jarak antara kekuasaan dan penderitaan rakyat. Karena sesungguhnya, tidak ada jabatan yang lebih mulia daripada menjadi pelayan bagi sesama.
Jangan biarkan Buru kembali dikuasai sunyi. Jangan biarkan rakyat kembali merasa sendiri di negerinya sendiri. Inilah waktu untuk menjawab. Inilah kesempatan untuk mencatat sejarah sebagai pemimpin yang datang bukan sekadar untuk memerintah, tapi untuk menyembuhkan.
Kaperwil Maluku (SP)