Fokuspost.com | Maluku – Oleh: Wartawan Senior, Drs. Muz MF. Latuconsina.
Pada awal abad ke-7, pelaut-pelaut dari daratan Cina, khususnya pada zaman Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku termasuk pulau Buru untuk mencari rempah-rempah, namun mereka sengaja merahasiakannya untuk mencegah datangnya bangsa-bangsa lain ke daerah yang kaya ini.
Catatan resmi tentang pulau Buru oleh penjelajah dunia pertama kali ditulis oleh Antonio Pigafetta. Ia merupakan seorang penulis berkebangsaan Italia yang ikut dalam pelayaran Ferdinan Megellans. Ferdinan sendiri adalah seorang pelaut ulung kerajaan Spanyol yang melakukan ekspedisi berlayar keliling dunia dari tahun 1521-1522 dengan menggunakan kapal “Victoria” yang dinakhodai Kapten Juan Sebastian Del Cano.
Selama ekspedisi, Pigafetta selalu menulis catatan perjalanan. Dari catatan harian “Magellan’s Voyage A Narrative Account Of The First Circummnavigation”, diketahui bahwa pada tahun 1521 kapal Victoria yang ditumpangi Pigafetta sempat singgah di Kerajaan Tidore-Maluku Utara, kemudian berlabuh di Pulau Buru yang memang terletak di jalur pelayaran Internasional.
Pigafetta menggambarkan, “sekitar 10 Liga dari Sullach dalam perjalanan yang sama, kami menemukan sebuah pulau yang sangat besar, di tempat itu terdapat beras, kambing, binatang ternak, kelapa, gula, sagu, kacang, madu, dan masih banyak lagi”, ujarnya.
Orang-orang di pulau tersebut bertelanjang, sama persis dengan di Sullach, tidak mengenal agama dan tidak memiliki raja, pulau tersebut adalah Pulau Buru.
Catatan lain yang menyebutkan tentang Pulau Buru, khususnya dataran Waiapo, terdapat dalam buku laporan penelitian alam Alfred Russel Wallace yang merupakan seorang Naturalis, The Malay Archipelago. Ketika itu Alfred menumpang kapal pos Belanda dari Timor menuju Pulau Buru pada bulan Mei 1861. Rute ini kebalikan dari rute kapal Spanyol Victoria, dalam ekspedisi Magellans yang berlayar melintasi Pulau Buru menuju Timor pada bulan Januari 1521, atau 340 tahun sebelum Wallace.
Wallace menuliskan keadaan Pulau Buru waktu itu, “saya sudah begitu lama ingin mengunjungi Pulau Bouru (Buru), yang terletak di Ceram bagian Barat. Hanya sedikit informasi yang dimiliki para naturalis mengenai pulau ini, kecuali bahwa pulau ini memiliki spesis endemik babi rusa. Saya memutuskan untuk menetap di pulau ini selama dua bulan meninggalkan Timor Delli pada tahun 1861, saya bisa mencapai pulau ini dengan kapal uap pos milik Belanda yang datang ke Molucca setiap bulan”.
Kapal pos yang ditumpangi Wallace merapat di pelabuhan Cajeli (Kaiely) pada 4 Mei 1861.
Penulis (sastrawan) lain yang mendokumentasikan pulau Buru adalah seorang sastrawan wanita asal Belanda, Beb Vuyk, yang pernah tinggal di pulau Buru (Kaiely) bersama suaminya.
Beb menulis roman “Rumah Terakhir di Dunia” dan “Kayu dari Bara”. Kedua roman tersebut diilhami dari kehidupan sang penulis pada saat di pulau Buru. Bagi Beb, Buru merupakan rumah terakhirnya dan tidak ada tempat di dunia ini yang keindahannya mampu menandingi pulau Buru.
Di era modern, banyak juga orang hebat yang pernah meninginjakkan kakinya di pulau Buru, salah satunya adalah Prof. Janet E Steele, Guru Besar di George Washington University Amerika Serikat, yang sempat menuliskan catatan perjalanan ketika berkesempatan mengunjungi pulau Buru pada Agustus 2007.
Ia merupakan salah seorang penulis asing yang menyaksikan pulau Buru di era modern dan telah menjadi satu kabupaten maju di Provinsi Maluku. Didalam tulisannya, Janet sempat menyatakan bahwa topografi dan udara di Kabupaten Buru sama seperti di California Selatan.
Jauh sebelum Prof. Jenet, pulau Buru menjadi suatu tempat inspirasi bagi beberapa sastrawan terkenal di Indonesia, bahkan di dunia seperti Amarzan Loebis dan Pramoedya Ananta Toer (1969-1979), yang berhasil menyelesaikan beberapa karya sastra yang fenomenal baik di Indonesia maupun di dunia (diterjamahkan lebih dari 42 bahasa), yang tentunya sumber inspirasi dan Ilham datang dari pulau Buru, antara lain tetraloginya “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca”.
Selain itu, Pramudya juga melahirkan novel reportasi “Nyanyian Sunyi Seorang Bisu”, yang menceritakan kehidupan Tahanan Politik (Tapol) G 30 S PKI di pulau Buru.
Setiap sisi kehidupan di pengasingan itu diceritakan Pramudya dengan detail dan menawan. Pramudya bukan hanya memotret kehidupan keseharian para Tapol, tetapi juga menggambarkan dengan rinci budaya masyarakat adat setempat.
Pada saat ini Kabupaten Buru didiami oleh berbagai macam etnis, baik etnis adat Kabupaten Buru maupun para pendatang dengan berbagai ragam budaya yang menambah kekayaan khasanah budaya Kabupaten Buru sekaligus Maluku.
Sumber: Websait Resmi Kabupaten Buru.
Kaperwil Maluku (SP)