Oleh: Muz MF. Latuconsina
Di sebuah kampung sunyi di pedalaman Danau Rana, Kabupaten Buru, hidup seorang gadis bernama Delina Wamese.
Dari balik hening dan kabut danau, tersimpan cerita tentang keberanian yang jarang lahir dari rahim adat. Delina bukan sekadar anak kampung biasa.
Ia adalah simbol perlawanan, bukan dengan senjata, tapi dengan pena dan keberanian berpikir.
Lahir dari lingkungan yang kuat memegang adat, Delina sedari kecil tahu bahwa ia bukan anak yang bisa bebas memilih jalan hidupnya. Khusus di kalangan marga Wamese, terdapat aturan tidak tertulis yang membatasi perempuan untuk tidak bersekolah.
Alasannya klasik: perempuan cukup tahu dapur, pelihara suami, dan jaga rumah. Ilmu pengetahuan dianggap tak berguna bagi perempuan. Sekolah adalah milik lelaki.
Namun Delina bukan gadis biasa. Dalam diam, ia menggugat bukan dengan amarah, melainkan dengan tekad dan air mata yang ditahan.
Ia merasa bahwa aturan adat yang melarang perempuan mengenyam pendidikan bukan lagi warisan, tapi beban masa lalu. Bagi Delina, adat adalah identitas, tapi bukan untuk membunuh masa depan.
Orang tuanya semula ragu. Mereka juga adalah bagian dari lingkaran adat yang takut menentang arus. Tapi cinta pada anak kadang lebih besar dari patuh pada tradisi.
Dengan berat hati, mereka memutuskan meninggalkan kampung, membawa Delina ke daerah Buru Selatan agar ia dan saudari-saudarinya bisa mengecap dunia luar bangku sekolah yang selama ini hanya jadi mimpi.
Delina tumbuh dengan luka dan semangat. Di matanya, ada kerinduan pada kampung halaman, tapi juga ada bara ingin membuktikan bahwa perempuan dari Danau Rana bisa jadi siapa saja, sejauh diberi kesempatan.
Kini, Delina menetap di Jakarta. Jauh dari danau yang membesarkannya, tapi dekat dengan cita-cita yang dulu hanya hidup dalam doa.
Ia tidak ingin hidup hanya untuk dirinya sendiri. Perjuangannya adalah pesan kepada generasi muda, terutama perempuan di marga Wamese dan kampung-kampung lainnya di pedalaman Buru:
“Kita bisa menolak tunduk pada adat yang menindas, tanpa kehilangan jati diri.”
Delina bukan sekadar pelajar atau perantau. Ia adalah Kartini dari Danau Rana, yang meyakini bahwa pendidikan adalah hak, bukan privilese.
Bahwa adat bisa dipertahankan, tapi juga bisa diperbarui. Dan bahwa perempuan, dari mana pun asalnya, berhak bercita-cita tinggi—setinggi langit yang memantulkan bayangan Danau Rana di waktu pagi.
Kaperwil Maluku (SP)