Fokuspost.com | Maluku – Mantan ketua Bawaslu Buru Selatan sekaligus mantan anggota KPU Kabupaten Buru, Umar Alkatiri, SH, menilai demokrasi saat ini sudah kebablasan atau kelewatan dan hanya orang-orang paling dungu yang menganggap fitnah sama dengan kritik.
Umar menilai, banyak orang salah mengartikan kebebasan mengeluarkan pendapat sehingga cacian, fitnahan, dan lain-lain dianggap kritik yang merupakan bagian dari kebebasan berpendapat.
Kata Umar, kebebasan berpendapat tidak berarti bebas dalam melakukan dan menyampaikan pendapat tanpa batasan. Sebagai warga negara, diharapkan dapat menggunakan haknya dalam berpendapat dengan batasan dan bijaksana.
“Kalau seseorang difitnah melalui media sosial atau pemberitaan dan orang yang difitnah merasa dirugikan kemudian melaporkannya ke pihak berwajib, itu bukan berarti orang difitnah tidak mau dikritik. Harus bisa dibedakan antara fitnah dan kritik”, ujar Umar
Umar menjelaskan, fitnah adalah perkataan bohong atau tuduhan tanpa dasar kebenaran yang disebarkan dengan tujuan menjelekkan seseorang. Fitnah dapat merugikan kehormatan dan nama baik seseorang.
Lanjut Umar, dalam hukum, fitnah merupakan tindak pidana yang diatur dalam pasal 434 ayat (1) UU 1/2023. Unsur-unsur tindak pidana fitnah adalah;
– Seseorang menuduh orang lain.
– Tuduhan tersebut bersifat menista baik secara lisan maupun tulisan.
– Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya.
Kata Umar, ancaman hukuman pencemaran nama baik, pelaku dijerat pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda penghinaan nama baik paling banyak Rp. 750 juta. Perbuatan penghinaan nama baik atau penghinaan bisa berdampak buruk terhadap reputasi atau citra seseorang.
“Kritik adalah respon berupa penilaian objektif dan seimbang mengenai sesuatu hal. Kritik kerap disampaikan dalam menanggapi satu pernyataan, opini, kebijakan dan sebagainya. Jadi fitnah bukan kritik”, tutup Umar.
Kaperwil Maluku (SP)