Doa: Antara Aku, Kesadaran, dan Sang Penulis Kehidupan

Renungan oleh: Muhamad Daniel Rigan

Pagi yang indah sering kali membuat kita merasa bahagia. Udara segar, cahaya mentari yang lembut, dan denyut kehidupan yang baru seolah menjadi bukti bahwa doa-doa kita telah terkabul.

Bacaan Lainnya

Namun, pernahkah kita berpikir bahwa kebahagiaan itu sendiri rasa syukur yang muncul di dada mungkin adalah bentuk nyata dari doa yang telah menjadi kenyataan?

Sering kali, kita memahami doa sebagai sebuah permintaan. Kita memohon, berharap, dan menunggu sesuatu datang sebagai hasil.

Padahal, mungkin doa bukanlah tentang meminta, melainkan tentang menyadari keselarasan antara diri kita dengan kehendak semesta.

Jika aku berdoa karena cinta dan ketulusan, namun di baliknya terselip keinginan untuk memiliki atau rasa takut kehilangan, maka sebenarnya itu bukan doa sejati itu adalah egoku yang sedang berbicara.

Doa sejati tidak berorientasi pada hasil. Hasil bukanlah milikku, dan bukan pula milik siapa pun.

Maka, untuk apa aku pusing memikirkannya? Ketika hatiku masih berjuang keras dalam doa, mungkin saat itu egoku masih mendominasi diriku.

Tetapi, ketika doa justru menghadirkan ketenangan, rasa syukur, dan kedamaian, saat itulah doa menemukan hakikatnya: ia bukan lagi permintaan, melainkan perjumpaan.

Aku sadar, segala sesuatu yang bukan milikku tak perlu kuminta. Aku hanyalah selembar kertas kosong di tangan Sang Penulis Agung. Dialah yang menulis setiap kisah, termasuk doa itu sendiri.

Maka, doa bukanlah percakapan antara “aku” dan “Dia”. Doa adalah Dia sendiri yang mengalir melalui kesadaran dan cinta dalam diriku.

Di titik itu, tidak ada lagi pemisah antara yang berdoa, doa, dan yang didoakan semuanya larut dalam satu kesatuan makna: keheningan yang penuh kasih.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *