Dr. Abraham H. Tulalessy, M.Si, Pakar pencemaran Lingkungan dan Ketua Pusat Study Lingkungan Universitas Pattimura, menyuarakan sebuah kebenaran yang selama ini jarang mendapat perhatian serius: Pulau Buru, Wetar, Romang, Babar, Negeri Sepa, Latea, Tamilouw, dan pulau-pulau serta negeri-negeri lainnya di Maluku adalah tanah emas.
Secara harfiah. Tanah-tanah adat ini menyimpan kekayaan emas yang luar biasa. Namun, pertanyaannya adalah:
Siapa yang benar-benar menikmati kekayaan ini? Dan lebih penting lagi, apa yang harus kita lakukan agar kekayaan ini tidak menjadi kutukan ekologis dan sosial?
Sudah terlalu lama masyarakat adat, pemilik sah dari tanah-tanah ini, hanya menjadi penonton dari eksploitasi sumber daya alam.
Kekayaan emas yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan justru kerap berubah menjadi konflik, pencemaran lingkungan, dan penderitaan jangka panjang akibat penggunaan bahan kimia berbahaya seperti sianida dan merkuri.
Dr. Tulalessy menegaskan pentingnya pengelolaan sumber daya emas secara adil dan berkelanjutan.
Ini bukan hanya soal teknis pertambangan, tetapi tentang keadilan ekologis dan sosial.
Penambangan harus dilakukan dengan pola ramah lingkungan, tanpa penggunaan bahan kimia berbahaya yang merusak hutan, mencemari sungai, dan membunuh kehidupan.
Pemerintah daerah harus segera bertindak. Sudah saatnya dibuat Peraturan Daerah (Perda) yang melarang penggunaan merkuri dan sianida dalam pertambangan emas.
Lebih dari itu, perlu ada regulasi yang memastikan bahwa masyarakat adat menjadi pemilik utama dalam rantai produksi, bukan korban dari kerakusan perusahaan-perusahaan besar yang datang, mengeruk, dan pergi meninggalkan kerusakan.
Editorial ini mendukung penuh seruan Dr. Tulalessy: Kelola emas kita, tapi jangan bunuh alam dan rakyat kita. Kekayaan ini bukan kutukan jika dikelola dengan bijak. Jadikan emas sebagai berkah untuk generasi sekarang dan masa depan.
Kaperwil Maluku (SP)