Langkah Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, menggandeng Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Ambon untuk membangun harmonisasi antarkelompok di tengah masyarakat, patut diapresiasi sekaligus ditelaah secara kritis.
Maluku adalah rumah yang indah, kaya dengan laut, rempah, dan warisan budaya yang memukau. Namun sejarahnya juga merekam luka: konflik sosial yang pernah mencabik jalinan persaudaraan. Hingga kini, sisa-sisa keretakan itu masih terasa, terutama dalam wajah ketidakpercayaan, sekat sosial, dan rapuhnya kohesi antarwarga.
Di sinilah letak urgensi langkah gubernur. Infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi tidak akan berarti jika fondasi sosial tetap retak. Jalan raya, pelabuhan, atau bandara akan berumur pendek bila masyarakat tidak hidup dalam suasana damai. Karena itu, menjadikan mahasiswa sebagai mitra strategis dalam merawat harmoni adalah pilihan tepat.
KAMMI, dengan semangat mudanya, memiliki energi besar untuk melampaui sekat ideologis dan golongan. Organisasi ini bisa menjadi katalis yang menjembatani generasi muda, pemerintah, dan masyarakat, agar bergerak bersama dalam pembangunan. Lebih dari sekadar wacana, harapan gubernur jelas: KAMMI harus menghadirkan program konkret yang menyentuh langsung denyut nadi rakyat, terutama pada sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Namun, apresiasi tidak boleh membuat kita terlena. Tantangan sesungguhnya terletak pada konsistensi dan kesungguhan. Mahasiswa tidak boleh terjebak pada seremoni pelantikan atau jargon harmonisasi, tetapi harus membumikan gagasan dalam aksi nyata—misalnya dengan mengembangkan wisata berbasis komunitas, melatih kewirausahaan lokal, atau membangun forum dialog lintas kelompok. Pemerintah pun dituntut memberikan ruang yang sehat, bukan sekadar simbolik, agar energi muda itu tidak layu sebelum berkembang.
Keharmonisan sosial bukan proyek instan. Ia adalah proses panjang yang menuntut ketekunan, kejujuran, dan keadilan. Bila langkah awal ini dirawat dengan baik, kolaborasi pemerintah dan mahasiswa dapat menjadi fondasi baru untuk Maluku yang damai dan sejahtera.
Karena itu, membangun Maluku bukan hanya soal menambal jalan atau menambah kapal feri, tetapi juga soal menambal hati yang retak dan merajut kembali jalinan persaudaraan. Di titik inilah, harmonisasi antarkelompok menjadi syarat utama agar pembangunan ekonomi benar-benar membawa manfaat bagi semua.
Kaperwil Maluku (SP)