Gunung Botak, di jantung Pulau Buru, bukan sekadar hamparan tanah yang menyimpan emas. Ia adalah saksi bisu atas kerakusan, harapan, dan pertaruhan masa depan. Selama bertahun-tahun, gunung ini menjadi medan rebutan, bukan hanya antara para penambang dan aparat, tetapi juga antara suara hati dan kepentingan sesaat.
Hari ini, kita menyaksikan lembaran baru ditulis. Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, memimpin rapat penting bersama 10 koperasi yang diberi tanggung jawab menata ulang kawasan Gunung Botak. Hadir pula Wakil Gubernur Abdullah Vanath, Pangdam XVI Pattimura, Kapolda Maluku, serta Bupati Buru dan unsur Forkopimda lainnya. Kehadiran para pemegang kebijakan ini menandai bahwa GB bukan lagi urusan sepele, tapi urusan hidup dan masa depan banyak orang.
Namun, di balik semua rencana dan peta jalan yang digelar di meja rapat, pertanyaan dasarnya adalah: apakah ini benar-benar untuk rakyat? Atau hanya untuk mengatur ulang siapa yang duduk di atas pundi-pundi emas?
Selama ini, Gunung Botak tak hanya menganga karena galian liar, tetapi juga karena luka sosial yang menganga. Konflik, korban jiwa, hingga kerusakan lingkungan adalah bukti bahwa GB bukan hanya masalah tambang, tapi masalah moral. Di situlah ujian sesungguhnya dimulai.
Koperasi yang dibentuk, sejatinya lahir dari semangat kebersamaan dan keadilan. Tapi sejarah membuktikan, tak sedikit koperasi yang berubah menjadi topeng legal dari kepentingan elit. Maka wajar bila publik bertanya, apakah 10 koperasi ini benar-benar mewakili rakyat kecil—atau hanya perpanjangan tangan para pemilik modal?
Rapat hari ini adalah langkah awal. Tapi tanggung jawab tidak berhenti di meja rapat. Ia baru dimulai. Gubernur dan para pemimpin koperasi dituntut tidak hanya mengatur tambang, tetapi juga menata nurani. Mengembalikan harapan rakyat bahwa tambang bisa dikelola tanpa menindas, tanpa merusak, dan tanpa menyisakan luka sosial.
Gunung Botak menunggu jawaban. Bukan dari suara pidato, tapi dari tindakan nyata.
Dan sejarah akan mencatat, siapa yang lulus dari ujian tanggung jawab ini—dan siapa yang gagal karena meninggalkan nurani di belakang.
Kaperwil Maluku (SP)