Gunung Botak dan Politisasi Agama

Oleh: Muz MF. Latuconsina

“Ketika tambang emas bersinggungan dengan iman, akal sehat pun diuji antara kepentingan dan kebenaran.”

Bacaan Lainnya

Rencana penutupan aktivitas tambang ilegal di Gunung Botak oleh Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, menjadi kebijakan tegas yang layak diapresiasi. Namun, langkah ini ternyata menuai pro dan kontra, bahkan mulai ditarik ke ranah sensitif: agama.

Beberapa kelompok yang menolak penutupan tambang berdalih bahwa waktu penutupan terlalu dekat dengan perayaan Natal dan Tahun Baru. Mereka menyuarakan bahwa banyak penambang beragama Kristen menggantungkan hidup dari emas Gunung Botak. Pertanyaannya, apakah faktor agama pantas dijadikan alasan untuk menunda kebijakan lingkungan dan hukum?

Jika sekarang penutupan ditolak karena Natal, apakah nanti akan diminta dibuka kembali menjelang bulan puasa atau Idul Fitri? Dalih seperti ini hanya membuka ruang untuk politisasi agama demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Gubernur Maluku hendaknya tetap berdiri teguh di atas konstitusi dan keadilan. Tak perlu terjebak dalam permainan sentimen yang sengaja dimainkan demi menggugah emosi publik. Gunung Botak adalah persoalan hukum, lingkungan, dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan — bukan semata soal bulan dan hari besar agama.

Kita harus jujur melihat bahwa Gunung Botak bukan hanya ladang rezeki, tapi juga ladang kerusakan dan konflik sosial. Masyarakat, baik Kristen maupun Muslim, yang tinggal di sekitar tambang pun tak sedikit yang menjadi korban—entah karena longsor, merkuri, atau kekerasan.

Agama, dalam konteks ini, jangan sampai jadi tameng atas praktik ilegal yang merusak bumi dan menabrak hukum. Justru nilai-nilai keagamaan mengajarkan ketertiban, keadilan, dan cinta terhadap ciptaan Tuhan, termasuk alam.

Tugas pemerintah bukan menyenangkan semua orang, melainkan menegakkan kebenaran. Jika ada yang menderita karena kehilangan sumber penghasilan, pemerintah wajib menyiapkan solusi—bukan kompromi dengan pelanggaran.

Kebijakan yang benar kadang pahit di awal, tapi akan menyembuhkan luka panjang. Dan kebijakan yang tunduk pada tekanan sektarian hanya akan menambah luka baru. Maka, jaga Gunung Botak. Jaga akal sehat. Jaga nilai agama dari jebakan politisasi.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *