Gunung Botak Legal Tak Menguntungkan, Ilegal Lebih Menggoda: Pola Pikir Kolonial di Tanah Sendiri

Oleh: Muz MF. Latuconsina

Rapat Gubernur Maluku bersama 10 koperasi yang digelar belum lama ini seharusnya menjadi titik balik dalam penataan Gunung Botak.

Bacaan Lainnya

 

Kesepakatan sudah dicapai, strategi telah disusun, dan komitmen mulai mengkristal. Namun, di lapangan, riak-riak penolakan justru datang dari segelintir kelompok yang merasa nyaman dengan praktik tambang ilegal.

 

Atas nama adat, atas nama negeri, atas nama orang kecil, mereka menolak penertiban. Dengan dalih “kearifan lokal”, mereka berupaya mempertahankan status quo yang sesungguhnya hanya menguntungkan segelintir orang dan merusak tatanan sosial serta ekologi jangka panjang.

 

Ini bukan soal adat. Ini soal kepentingan sempit yang dibungkus narasi lokalitas.

 

Mereka tahu, ketika proses menjadi legal, ruang gerak mereka terbatas. Ada aturan, ada transparansi, ada tanggung jawab lingkungan dan sosial yang harus dipenuhi.

 

Tapi dalam situasi ilegal, semuanya serba bebas. Tidak ada kewajiban, tidak ada batas, hanya keuntungan instan yang terus dikejar.

 

Inilah mental kolonial yang masih bercokol: mengeruk sebanyak-banyaknya, meninggalkan racun untuk generasi berikut.

 

Lebih ironis lagi, sebagian dari mereka adalah warga lokal yang seharusnya menjadi garda depan pelestarian tanah leluhur.

 

Tapi demi rupiah sesaat, mereka menutup mata terhadap lumpur sianida, air sungai yang tercemar, dan anak-anak yang tumbuh di atas tanah beracun.

 

Pemerintah Provinsi Maluku, bersama koperasi resmi yang telah bersedia tunduk pada regulasi, harus segera mengambil langkah konkret.

 

Tidak cukup hanya duduk rapat dan mengeluarkan pernyataan. Butuh tindakan. Butuh ketegasan.

 

Butuh keberanian untuk mengatakan bahwa masa depan jauh lebih penting daripada kenyamanan ilegal hari ini.

 

Karena jika yang legal tidak diberi ruang, dan yang ilegal terus dibiarkan, maka kita sedang mencetak warisan kehancuran, bukan pembangunan.

 

Jangan biarkan pola pikir kolonial hidup subur di tanah sendiri.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *