Hendrik Lewerissa -Abdullah Vanath: “Maluku dalam Cermin 80 Tahun Kemerdekaan”

Oleh: Drs. Muz Latuconsina, MF.

Kehadiran Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa bersama Wakil Gubernur Abdullah Vanath dalam rapat paripurna DPRD Maluku pada 19 Agustus 2025,

Bacaan Lainnya

Dalam rangka HUT ke-80 Provinsi Maluku, menjadi simbol penting persatuan kepemimpinan daerah ini. Duduk berdampingan, keduanya menunjukkan kepada rakyat bahwa Maluku hanya bisa maju jika pemimpinnya solid.

Slogan “par Maluku pung bae” menemukan pijakan nyata dalam momentum bersejarah itu.

Delapan puluh tahun sudah Indonesia berdiri sebagai bangsa merdeka. Delapan puluh tahun pula Provinsi Maluku hadir dalam denyut perjalanan republik ini.

Dua usia yang sama, dua napas yang lahir dari satu proklamasi yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, menandai tonggak sejarah bahwa Maluku bukan sekadar bagian dari Indonesia, melainkan salah satu fondasi utama tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam delapan dekade perjalanan itu, Maluku memberi bukan hanya darah dan air mata, tetapi juga nilai dan teladan.

Dari kepahlawanan Pattimura dan Martha Christina Tiahahu, hingga spirit persaudaraan pela-gandong yang mengajarkan persatuan di tengah keragaman.

Dari laut Banda yang menyimpan sejarah dunia hingga pulau-pulau kecil yang menjadi simpul penjaga kedaulatan maritim nusantara.

Namun, refleksi 80 tahun ini juga harus jujur mengakui bahwa Maluku masih menanggung luka pembangunan yang timpang.

Infrastruktur dasar di banyak daerah masih tertinggal, kemiskinan belum sepenuhnya ditanggulangi, dan potensi laut serta rempah belum digarap sepadan dengan nilainya.

Seperti Indonesia yang terus berjuang melunasi janji-janji kemerdekaan, Maluku pun masih berupaya membebaskan diri dari cengkeraman ketidakadilan struktural dan keterisolasian.

Momentum ganda 80 tahun ini hendaknya menjadi ruang kontemplasi: sampai di mana Maluku ditempatkan dalam tubuh Indonesia, dan bagaimana Maluku sendiri mengelola anugerahnya.

Apakah laut luas hanya jadi cerita, ataukah ia menjadi sumber kesejahteraan rakyat? Apakah nilai-nilai pela-gandong hanya tinggal simbol, ataukah benar-benar hidup dalam tata kelola pemerintahan dan sosial?

Kita tak boleh puas hanya dengan merayakan seremoni. Usia 80 adalah panggilan kedewasaan.

Indonesia harus memastikan pembangunan tidak lagi Jawa-sentris, dan Maluku harus berani melangkah keluar dari keterbelakangan dengan inovasi, integritas, dan kerja sama.

Sejarah telah membuktikan, Maluku adalah pintu dunia yang tak tergantikan.

Di usia 80 tahun ini, bangsa Indonesia dan rakyat Maluku harus menjawab tantangan dengan satu suara: bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat di setiap pulau, dari Seram hingga Buru, dari Kei hingga Tanimbar, merasakan keadilan, kesejahteraan, dan martabat yang sama.

Itulah makna refleksi delapan dekade: merawat ingatan, meneguhkan komitmen, dan memperbarui janji bahwa Indonesia hanya utuh jika Maluku turut sejahtera.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *