Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial: Dua Sayap Kesempurnaan Agama Islam

Oleh: Abdul Manan Latuconsina, S.Ag, MH. Ketum Dewan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DDII) Maluku dan ketum Alumni IAIN Ambon

Ibadah dalam pandangan Islam bukan hanya urusan pribadi antara manusia dengan Tuhannya. Ibadah adalah jalan penghambaan yang menyatukan langit dan bumi—menghubungkan hati kepada Allah dan tangan kepada sesama manusia. Karena itu, Islam mengajarkan dua jenis ibadah yang saling melengkapi: ibadah ritual dan ibadah sosial.

Bacaan Lainnya

Ibadah ritual adalah ekspresi ketundukan dan ketaatan kita kepada Sang Khalik: salat, puasa, zikir, tilawah, haji, dan lainnya. Ia adalah sumber energi spiritual. Tapi ibadah ritual bukan tujuan akhir, melainkan jalan untuk membentuk pribadi yang lebih luhur dan bermanfaat bagi orang lain.

Di sisi lain, ibadah sosial adalah manifestasi keimanan dalam kehidupan nyata. Menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, berlaku adil, menjaga amanah, menegakkan kejujuran, menolak kezhaliman, dan membela kaum tertindas adalah bagian dari ibadah yang hakiki.

Ayatollah Khomeini, pemimpin revolusi Islam Iran, pernah menyampaikan sebuah pandangan tajam yang menggugah:

“Dalam Al-Qur’an, tema-tema sosial lebih banyak dibahas daripada ibadah ritual.”

Ini bukan berarti ibadah ritual tidak penting, tetapi menunjukkan bahwa nilai agama yang sejati diukur dari dampaknya dalam kehidupan sosial. Seberapa besar seorang hamba menghadirkan kebaikan di tengah masyarakat, itulah cermin kualitas imannya.

Bahkan dalam Al-Qur’an, banyak kecaman ditujukan kepada orang-orang yang rajin beribadah secara formal tapi abai terhadap nilai keadilan sosial. Firman Allah dalam surat Al-Ma’un sangat tegas:

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, yaitu mereka yang lalai dari salatnya dan berbuat riya serta enggan memberikan bantuan.” (QS. Al-Ma’un: 1–7)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa agama bukan hanya tentang salat, tetapi juga tentang kepedulian. Orang yang salat tapi pelit, yang puasa tapi menindas, yang zikir tapi menipu—mereka belum menyempurnakan ibadahnya.

Karena itu, siapa pun yang ingin disebut beragama secara utuh, harus menyeimbangkan ibadah ritual dan ibadah sosial. Ibadah ritual mendidik hati, ibadah sosial menggerakkan tangan. Satu menguatkan hubungan dengan Tuhan, yang lain memperindah hubungan dengan sesama.

Agama akan lumpuh bila hanya berdiri di atas satu kaki. Ia akan sempurna jika keduanya dijalankan bersamaan.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *