Editorial oleh: Drs. Muz Latuconsina, MF.
Dalam beberapa waktu terakhir, sorotan tajam publik kembali tertuju pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), khususnya terkait besarnya tunjangan, fasilitas mewah, hingga rencana-rencana yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.
Tuntutan pemotongan tunjangan, pemangkasan anggaran, dan evaluasi kinerja pun menggema di berbagai aksi mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan.
Namun, satu hal yang luput dari perhatian besar adalah bahwa persoalan ini tidak berhenti di Senayan saja.
DPRD provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia juga seharusnya menjadi bagian dari evaluasi dan desakan reformasi tersebut.
Sebab, sistem yang timpang tidak hanya berdiri di pusat, tetapi menjalar hingga ke daerah.
Banyak DPRD di berbagai wilayah juga menikmati tunjangan tinggi, perjalanan dinas dengan anggaran fantastis, serta berbagai fasilitas yang sering kali tidak sebanding dengan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat.
Ironisnya, saat rakyat menjerit karena harga bahan pokok naik, pajak kian menekan, dan subsidi makin berkurang, sebagian wakil rakyat justru hidup dalam kenyamanan yang mengasingkan mereka dari realitas rakyat.
Di berbagai daerah, kekacauan anggaran, kebijakan yang tidak efektif, bahkan korupsi justru banyak terjadi di tingkat lokal.
Namun mengapa sorotan publik masih terlalu tersentralisasi pada DPR RI saja? Jika yang diperjuangkan benar-benar reformasi struktural, maka perbaikan harus dimulai dari atas hingga ke bawah.
Pemotongan tunjangan dan transparansi anggaran harus diterapkan secara menyeluruh, dari pusat hingga daerah, dari DPR RI hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Kita tidak sedang berbicara soal kecemburuan tunjangan dan fasilitas DPR RI dan DPR Daerah, melainkan tentang keadilan sosial dan pengorbanan bersama di tengah krisis.
Rakyat sedang berhemat, menahan lapar, mengatur ulang prioritas hidupnya karena tekanan ekonomi yang berat.
Maka, sudah semestinya para wakil rakyat di semua tingkatan menunjukkan empati nyata, bukan sekadar retorika.
Gerakan mahasiswa dan organisasi kepemudaan (OKP) seharusnya lebih peka dan objektif.
Jangan hanya fokus pada DPR RI sebagai simbol kemarahan publik. Gerakan moral harus menyasar seluruh jenjang kekuasaan legislatif.
Jika hanya DPR RI yang dikritik, sementara DPRD di daerah dibiarkan nyaman dalam diam, maka perjuangan ini kehilangan arah dan makna.
Sudah waktunya masyarakat menuntut perubahan yang menyeluruh.
Tidak cukup hanya memotong tunjangan anggota DPR RI seluruh sistem yang timpang ini harus dibenahi.
Agar keadilan benar-benar menjadi milik bersama, bukan hanya slogan di spanduk demo yang terbang sesaat lalu dilupakan.
Kaperwil Maluku (SP)