Oleh: Muz MF. Latuconsina
Di tengah geliat pembangunan kota Ambon yang semakin menggeliat, terselip satu titik luka yang tak kunjung sembuh: Pasar Gotong Royong, sebuah bangunan tiga lantai yang berdiri tepat di jantung kota, bersisian dengan Ambon Plaza.
Ironisnya, bangunan yang dahulu dibangun dengan semangat ekonomi kerakyatan ini kini menjelma menjadi simbol keterbengkalaian dan abainya perhatian pemerintah kota terhadap ruang publik yang seharusnya menjadi denyut nadi warga.
Sudah 25 tahun berlalu sejak kerusuhan sosial mengguncang Ambon pada akhir 1990-an.
Namun Pasar Gotong Royong seakan ditinggalkan dalam puing-puing sejarah tanpa upaya revitalisasi yang berarti. Lantai demi lantai pasar ini kini menyimpan kisah yang memprihatinkan: lantai satu dipadati para pedagang sayur dengan tata letak semrawut dan jauh dari standar kebersihan, sementara lantai dua disulap menjadi deretan warung-warung liar yang berdiri seadanya tanpa fasilitas memadai.
Lebih ironis lagi, lantai tiga kini dihuni oleh warga yang menjadikan pasar ini sebagai tempat tinggal darurat, menandakan betapa bangunan ini telah kehilangan fungsi aslinya.
Kondisi kumuh, jorok, dan tidak terurus menjadi pemandangan sehari-hari. Aroma tak sedap, tumpukan sampah, dan kabel-kabel menjuntai sembarangan menghadirkan risiko kebakaran dan penyakit.
Padahal, dari segi letak, pasar ini memiliki potensi luar biasa untuk menjadi pusat ekonomi mikro yang hidup dan berdaya saing.
Yang menjadi pertanyaan publik: ke mana perhatian Pemerintah Kota Ambon? Mengapa hingga kini belum ada langkah konkret untuk menata ulang pasar ini?
Apakah Pasar Gotong Royong sudah dianggap tidak penting, atau ada kepentingan lain yang membuatnya sengaja dibiarkan terbengkalai?
Saat berbagai kota lain di Indonesia berlomba-lomba mempercantik pasar tradisional sebagai wajah lokalitas dan perekonomian rakyat, Ambon justru membiarkan satu pasar ikoniknya menjadi
“bangunan mati suri” di tengah geliat pertumbuhan kota. Jika alasan dana dan prioritas pembangunan menjadi kendala, mestinya ada transparansi dan partisipasi publik untuk mencari solusi bersama.
Sebab, membiarkan pasar ini terus seperti sekarang, sama saja membiarkan pusat kota Ambon dipenuhi wajah kemiskinan, keterlantaran, dan ketimpangan
Pasar Gotong Royong tidak butuh janji manis atau kunjungan seremonial. Ia butuh perhatian nyata, perencanaan matang, dan keberanian untuk bertindak.
Jangan biarkan satu lagi ruang publik di kota ini menjadi korban abai dan lupa. Sebab, kota yang baik bukan hanya dibangun dari gedung-gedung megah, tetapi dari bagaimana ia menjaga dan merawat ruang-ruang rakyatnya.
Keperwil Maluku (SP)