Jumat Berkah Bersama Muhammad Daniel Rigan dan Bella Sofhie di Tanah Suci Mekkah

Di tengah lautan manusia yang memadati Masjidil Haram pada hari Jumat, 3 Oktober 2025, suasana khusyuk dan haru bertemu dalam satu momen yang suci dan penuh makna.

Muhammad Daniel Rigan dan istrinya, Bella Sofhie pasangan suami istri yang dikenal akan kepeduliannya terhadap sesama—kembali menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan Rasulullah dapat diwujudkan lewat tindakan nyata yang sederhana namun penuh arti.

Bacaan Lainnya

Dengan penuh keikhlasan, mereka membagikan seribu kotak nasi dan minuman kepada para jamaah yang datang dari berbagai negara.

Namun, mereka tak ingin dikenal sebagai “pemberi”. Dalam pernyataannya, Muhammad Daniel Rigan dengan rendah hati menegaskan:

“Apa yang kami lakukan ini bukanlah karena kami lebih. Kami hanya perantara. Ada ribuan orang yang datang dari berbagai penjuru dunia hanya untuk melaksanakan sholat di Masjidil Haram, mereka tidur di lorong-lorong masjid, dengan anak-anak di gendongan, orang tua yang renta, dan tubuh yang lelah. Mereka pasrahkan diri hanya kepada Allah—entah dari mana mereka bisa makan. Tapi kami yakin, Allah menitipkan hak-hak mereka kepada kami.”

Kata-kata itu mengguncang hati. Karena memang benar Masjidil Haram bukan sekadar bangunan suci. Ia adalah pelabuhan jiwa bagi umat Islam sedunia. Tempat para hamba datang membawa harapan, membawa luka, membawa rindu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Banyak dari mereka datang tanpa harta, hanya berbekal iman dan cinta. Mereka rela tidur di lantai dingin, di sudut-sudut masjid, di bawah cahaya lampu dan langit terbuka.

Mereka datang dari negeri-negeri jauh, menahan lapar, menempuh perjalanan panjang hanya untuk satu tujuan: bersujud di hadapan Ka’bah, menyebut nama Allah di tempat paling mulia di muka bumi.

Dan di antara ribuan wajah penuh harap itu, hadir sepasang tangan yang menyodorkan sekotak nasi dan minuman jus. Bukan karena iba, tapi karena cinta. Karena mereka tahu: memberi makan seorang hamba Allah yang lapar adalah bentuk ibadah yang tak kalah mulia dari sujud panjang di malam hari.

Ratusan orang tua, perempuan, dan anak-anak rela duduk dan berdiri di bawah terik panas matahari, hanya untuk menyantap makanan pemberian para dermawan.

Wajah-wajah lelah mereka tampak berseri, bukan karena kenyang semata, tapi karena rasa syukur yang tulus. Mereka menyantap nasi sambil duduk dan berdiri di atas jalan aspal, di tengah keramaian yang tak pernah benar-benar sepi.

Di setiap suapan, terselip doa. Di setiap tegukan air, terucap pujian. Keikhlasan mengalir seperti udara, dan keberkahan turun seperti hujan yang menyejukkan jiwa.

Apa yang dilakukan oleh Muhammad Daniel Rigan dan Bella Sofhie pada hari Jumat itu bukanlah aksi besar dalam skala, tetapi besar dalam makna.

Di hari yang dimuliakan oleh Allah, saat amal kebaikan dilipatgandakan dan doa-doa diijabah, mereka memilih menjadi jalan bagi rezeki yang dititipkan.

Mereka tidak hanya memberi makan; mereka memberi harapan, menghidupkan ukhuwah, dan meneladani akhlak Rasulullah.

Sungguh, kisah ini membuat kita bertanya pada diri sendiri: kapan terakhir kali kita peduli pada mereka yang tak punya apa-apa selain doa?

Kita hidup di zaman di mana kemewahan sering dijadikan tolok ukur keberhasilan.

Tapi di Tanah Suci, semuanya luruh. Yang kaya dan miskin, yang kuat dan lemah, semua berdiri dalam barisan yang sama, bersujud dalam arah yang satu, berharap kepada Tuhan yang sama. Di sana, nilai manusia bukan diukur dari apa yang dia punya, tapi dari apa yang dia beri.

Semoga aksi ini bukan yang terakhir. Semoga semakin banyak jiwa-jiwa yang tergerak untuk memberi, untuk hadir bagi sesama, dan menjadi jalan bagi keberkahan. Karena sejatinya, kita tidak pernah benar-benar memberi—kita hanya menyampaikan apa yang sudah Allah titipkan.

Dan semoga, seperti mereka yang datang dengan cinta dan air mata ke Tanah Suci, kita pun diberi hati yang lembut dan tangan yang ringan untuk terus berbagi. Karena pada akhirnya, manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

“Keberkahan itu tidak datang karena kita memiliki segalanya. Tapi karena kita mau memberi dari apa yang kita punya.” — Muhammad Daniel Rigan

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *