Oleh: Muhamad Daniel Rigan
Sentul, Bogor, 7 November 2025
Jumat itu, langit Sentul berwarna lembut—antara kelabu dan teduh, seolah ikut menunduk menyambut siang yang penuh makna.
Di sebuah taman kecil di pinggir jalan, saya duduk bersama anak- anak penjual kerupuk. Mereka datang dengan langkah ringan, membawa dagangan yang tinggal separuh, dan wajah-wajah yang tak kenal lelah.
Kami makan bersama. Sederhana, tapi entah mengapa terasa begitu istimewa.
Di tengah suapan dan tawa kecil, saya bertanya kepada mereka, “Seandainya Tuhan ada di tengah-tengah kita saat ini… apa yang kalian ingin minta?”
Anak-anak itu saling berpandangan. Sebagian besar menjawab cepat, dengan mata berbinar penuh harap:
“Rezeki yang banyak, Pak!” Ada yang ingin sepeda, ada yang ingin rumah, ada pula yang ingin berhenti berjualan dan bisa bermain seperti anak-anak lain.
Saya tersenyum mendengar jawaban mereka tulus, polos, dan manusiawi. Namun tiba-tiba, dari ujung, seorang anak perempuan berbaju kusam tapi bersih, mengangkat tangan pelan. Suaranya lirih tapi jelas, seolah menembus udara dengan cahaya yang jernih.
“Aku mau umur panjang, Pak… supaya bisa bantu Ibu.”
Dan waktu pun seperti berhenti.
Di balik kata-katanya yang sederhana, tersimpan samudra makna yang luas. Bukan tentang panjang umur dalam hitungan tahun, tapi tentang keinginan untuk terus hadir bagi seseorang yang dicintainya.
Dalam diri anak kecil itu, saya melihat kasih yang tidak memikirkan diri sendiri, doa yang tidak meminta untuk menerima, melainkan untuk memberi.
Saya tertegun.
Dalam kesunyian sesaat, hati saya bergumam: Betapa kecil tubuhnya, tapi betapa besar jiwanya.
Di hadapan anak-anak yang berjualan di pinggir jalan itu, saya belajar sesuatu yang mungkin tak diajarkan oleh sekolah mana pun bahwa rezeki sejati bukanlah yang menumpuk di dompet, melainkan yang tumbuh di hati; bukan banyaknya harta, tapi dalamnya rasa syukur.
Dan umur panjang bukan sekadar waktu yang diperpanjang, melainkan kesempatan untuk mencintai lebih lama, memberi lebih dalam.
Hari itu, di taman kecil di Sentul, saya merasa Tuhan memang benar-benar hadir di tengah-tengah kami.
Tidak turun dari langit, tidak membawa cahaya atau mukjizat, tetapi hadir lewat suara lembut seorang anak kecil… yang hanya ingin hidup lebih lama agar bisa membantu ibunya.
Kaperwil Maluku (SP)






