Oleh: Muhamad Daniel Rigan.
Sentul, Bogor, 7 November 2025
Saya bahagia, Allah mempertemukan saya dengan para malaikat kecil pejuang kemiskinan yang berjuang dengan kekuatan cinta.
Cinta yang seperti ini hanya tumbuh di hati yang pasrah, bukan di hati yang kuat, berkelas, atau penuh gengsi. Cinta sejati sering kali hidup di hati yang lemah lesu, di hati yang belajar sabar dan ikhlas sejak kecil.
Anak-anak ini terlalu muda untuk memikul beban hidup, tetapi mereka melakukannya dengan senyum dan ketulusan.
Ada yang bekerja membantu orang tua, ada pula yang yatim namun tetap berjuang menjual kripik pisang di pinggir jalan.
Dari mereka, saya belajar bahwa cinta bisa menjadi sengatan lembut bagi kita yang hidup berlebihan, agar sadar bahwa semua ini tentang Dia — Sang Pemilik Hidup.
Hari ini, kami makan siang dan berbagi santunan bersama anak-anak penjual kripik pisang.
Kami bentangkan spanduk bertuliskan:
“Tangan-tangan kecil yang mengerjakan cinta di Bumi.”
Mereka menorehkan cap tangan mereka di sana jejak cinta yang sederhana tapi abadi.
Satu momen membuat hati saya luluh. Seorang anak tidak menghabiskan nasi bungkusnya. Saya bertanya lembut, “Kenapa tidak dihabiskan? Sudah kenyang?”
Ia menjawab pelan, “Mau disisakan buat Mama.”
Saya terdiam. Hati saya hancur berantakan. Di tengah kelelahan dan kelaparan, anak berusia tujuh tahun itu masih memikirkan ibunya.
Ia takut dagangannya tidak laku, dan ibunya tidak punya makanan. Dengan mata yang berkaca, saya berkata padanya, “Makanlah, Nak. Kenyangkan perutmu. Nanti ada lagi buat Mama.”
Barulah ia menghabiskan nasi bungkusnya, dengan senyum kecil yang begitu tulus.
Dari tangan-tangan kecil itu, saya melihat cinta yang paling murni — cinta yang bekerja tanpa pamrih, cinta yang menegur hati-hati yang lupa bersyukur.
Jumat ini, semoga kita semua belajar: bahwa cinta sejati sering hadir dalam kesederhanaan, dan Allah selalu dekat dengan hati yang pasrah.
Kaperwil Maluku (SP)







