Oleh: Drs. Muz Latuconsina, MF.
Di Maluku, aroma ketegangan di pucuk pemerintahan kini tercium lebih jelas daripada wangi cengkih yang pernah mengharumkan dunia. Gubernur Hendrik Lewerissa dan Wakil Gubernur Abdullah Vanath dua orang yang seharusnya saling menopang kini tampak seperti berdiri di panggung yang sama, tetapi memainkan musik yang berbeda. Dan rakyat dipaksa menjadi penonton dari pertunjukan yang tidak pernah mereka minta.
Perbedaan bukan masalah. Tetapi ketika perbedaan berubah menjadi tarik-menarik ego, rakyat berhak bertanya: Apakah jabatan lebih penting daripada janji yang dulu diucapkan kepada publik?
Kepemimpinan bukan soal siapa yang paling keras bicara, tetapi siapa yang paling sanggup menahan diri. Dan di titik ini, masyarakat mulai melihat bayangan “perceraian dini” yang seharusnya tidak pernah ada dalam buku besar pemerintahan.
Mari bicara jujur—sedikit menggigit, tapi perlu:
Konflik di puncak bukan sekadar drama kecil. Ia menetes ke bawah, merembes dalam bentuk pelayanan publik yang melambat, koordinasi yang tersendat, dan energi birokrasi yang habis untuk menebak ke mana angin politik akan bertiup. Sementara itu, rakyat tetap harus bekerja, belajar, dan bertahan tanpa kemewahan untuk berhenti hanya karena pemimpinnya sedang tidak akur.
Namun kritik ini datang dengan pesan yang tegas:
Jika dua pemimpin ini benar-benar mencintai Maluku, maka mereka harus menunjukkan cinta itu dengan cara yang paling sederhana—mendewasakan diri.
Bukan dengan saling menajamkan sikap, melainkan dengan menghaluskan hati. Bukan dengan membiarkan jurang melebar, tetapi dengan melangkah untuk menutupnya.
Rakyat Maluku tidak menuntut keajaiban.
Yang mereka inginkan hanya dua pemimpin yang menyadari bahwa kursi yang mereka duduki bukan panggung konflik, tetapi meja kerja untuk melayani. Bahwa kemenangan terbesar bukanlah membuat lawan politik terdiam, tetapi membuat rakyat merasa aman dan diperhatikan.
Karena yang paling menggigit bukanlah editorial ini—
melainkan kemungkinan bahwa masa depan Maluku akan tersandera jika kedua pemimpinnya gagal menuntaskan persoalan yang, sebenarnya, bisa selesai jika ego diturunkan dan kepentingan rakyat dinaikkan.
Maluku tidak membutuhkan drama.
Maluku membutuhkan pemimpin yang kembali melihat rakyat—bukan bayangan mereka sendiri.
Kaperwil Maluku (SP)







