Malam di Namrole kini tidak lagi tenang. Deru truk pengangkut kayu melintas di jalan Namrole–Leksula, jalan yang seharusnya menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Buru Selatan.
Jalan ini bukan sekadar aspal dan batu, melainkan hasil perjuangan bersama, simbol kerja keras dan kebanggaan rakyat.
Ironisnya, jalan yang dibangun untuk kepentingan publik kini dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengangkut kayu tanpa izin dan tanpa memperhatikan hak masyarakat maupun kelestarian infrastruktur.
Keluhan muncul dari berbagai lapisan masyarakat: warga lintas desa, tokoh adat, hingga pemuda.
Mereka menilai tindakan perusahaan itu “sangat kurang ajar”, karena menggunakan jalan rakyat untuk kepentingan pribadi.
Selama tiga malam berturut-turut, aktivitas hauling kayu berlangsung tanpa henti, memaksa masyarakat melapor ke pihak kecamatan dan instansi perlindungan lingkungan hidup.
Tidak hanya berhenti pada laporan administratif, masyarakat bersama tokoh adat menindaklanjuti dengan langkah tegas: memalang dan menerapkan sasi adat di jalan yang dilalui perusahaan.
Sasi bukan sekadar simbol, melainkan teguran keras bahwa hak adat dan tanah leluhur tidak bisa diabaikan. “Siapa pun yang melanggar, berarti menantang adat dan marwah masyarakat Buru Selatan,” tegas seorang tokoh adat.
Kasus ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah daerah dan aparat terkait.
Jalan lintas Namrole–Leksula adalah urat nadi ekonomi rakyat, bukan jalur logistik perusahaan tertentu.
Pemerintah memiliki tanggung jawab menegakkan aturan dan mencegah potensi gesekan sosial.
Masyarakat berhak atas keamanan, ketenangan, dan penghormatan terhadap adat serta hasil perjuangan mereka.
Di Buru Selatan, tanah dan jalan bukan sekadar fasilitas fisik. Mereka adalah warisan, identitas, dan simbol perjuangan rakyat.
Jika negara dan perusahaan mengabaikan itu, ketegangan sosial tak terelakkan. Saatnya menegakkan keadilan dan memastikan jalan rakyat tetap untuk rakyat.
Kaperwil Maluku (SP)







