Kilmury: Ujung Negeri Seram Timur yang Dibiarkan di Ujung Derita

Oleh: Zufri Rumalesin

Di peta Indonesia, Kilmury hanyalah titik kecil di ujung timur Pulau Seram, Maluku.

Bacaan Lainnya

Namun di titik itulah, wajah asli ketimpangan pembangunan terpampang jelas: anak-anak belajar di bawah cahaya lampu minyak, warga memanggul orang sakit melintasi sungai tanpa jembatan, dan kuburan leluhur terkikis ombak karena tak ada talud penahan.

Kilmury bukan desa yang baru ditemukan.
Ia bagian sah Republik ini, dengan penduduk yang taat membayar pajak, hadir di TPS setiap pemilu, dan berdiri tegak menghormat bendera setiap 17 Agustus.

Namun, ironisnya, negeri ini nyaris tak tersentuh pembangunan yang layak.

Listrik memang pernah dijanjikan, tiang pernah dipasang, tetapi kini sebagian roboh dan tak pernah diperbaiki.

Jalan layak? Tak ada. Ambulans? Hanya ada di televisi. Sinyal telepon? Sekadar hidup segan, mati tak mau.
Sementara itu, di kota-kota, para pejabat berbicara tentang revolusi digital, investasi, dan transformasi infrastruktur.

Kilmury adalah simbol ironi pembangunan: negeri yang hadir di data sensus, tetapi absen dalam perencanaan nyata.

Selama ini, Kilmury hanya muncul di naskah pidato kampanye, di lembar proposal proyek, atau di bibir pejabat yang mampir sekadar untuk foto. Setelah itu, sunyi kembali menyelimuti.

Editorial ini mengingatkan: Kilmury tidak meminta belas kasihan. Warganya tidak memohon untuk disanjung.

Mereka hanya menuntut hak yang dijamin konstitusi: akses jalan, listrik, jaringan komunikasi, dan perlindungan dari bencana. Semua itu bukan hadiah, tetapi kewajiban negara.

Pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat, tidak bisa lagi berlindung di balik alasan “anggaran terbatas” atau “program bertahap”.

Ketika jalan ke Kilmury tak kunjung dibangun, itu bukan sekadar soal logistik itu adalah pengabaian hak warga negara.

Ketika listrik tak menyala, itu bukan sekadar soal energi itu adalah pengabaian kesempatan pendidikan dan ekonomi.

Ketika abrasi merenggut kuburan leluhur, itu bukan sekadar kerusakan alam itu adalah hilangnya identitas dan sejarah.

Kilmury telah bersuara melalui surat terbuka yang menyayat hati. Kini, giliran para pemegang kuasa untuk menjawabnya dengan kerja nyata, bukan janji manis.

Sebab, semakin lama negeri ini membiarkan Kilmury terpinggirkan, semakin jelas bahwa kemerdekaan belum benar-benar merata.

Dan kalau Kilmury terus dilupakan, siapa yang bisa menjamin daerah terpencil lain tidak bernasib sama?

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *