Oleh: Muz MF. Latuconsina
Gunung Botak (GB), tanah emas di jantung Pulau Buru, kini menjadi panggung bagi kolonialisme gaya baru. Ironisnya, bukan asing yang menjajah melainkan anak negeri sendiri.
Mereka yang selama ini paling lantang teriak adat dan menolak penertiban, justru adalah pihak yang paling diuntungkan jika status ilegal GB tetap dipertahankan.
Sudah menjadi rahasia umum, di jalur-jalur tambang liar, para “penguasa bayangan” mengatur peredaran material, pemakaian bahan kimia berbahaya seperti sianida, hingga mengendalikan struktur logistik dan keamanan.
Semua ini berlangsung tanpa izin, tanpa standar lingkungan, dan tentu saja—tanpa pajak. Ilegalitas adalah tameng dan sekaligus alat kendali. Ketika status GB menjadi legal dan tertib, maka sistem kuasa liar itu runtuh. Maka wajar bila penertiban ditentang.
Mereka menyembunyikan kepentingan pribadi di balik jargon adat dan solidaritas rakyat. Mereka tak ingin GB ditata, karena selama ini mereka menjadi “raja kecil” yang tak tersentuh hukum.
Penertiban akan membuka borok-borok lama—soal pembiaran limbah B3, soal aliran dana gelap, hingga soal monopoli alat dan bahan kimia oleh para mafia lokal.
Penolakan terhadap langkah Gubernur Maluku dan 10 koperasi resmi, adalah bentuk perlawanan terhadap kehadiran negara.
Mereka lebih suka “kerajaan bayangan” tetap berkuasa daripada memberi ruang bagi sistem yang adil dan akuntabel. Inilah wajah kolonialisme baru: bukan pendudukan asing, tapi mental penjajahan oleh sesama.
Saatnya publik melek. Penertiban bukan sekadar soal aturan, tapi soal keadilan. Menolak penertiban berarti membiarkan segelintir orang terus menjajah negeri sendiri, atas nama rakyat yang sesungguhnya hanya mereka peralat.
Kaperwil Maluku (SP)