Jakarta,– Irwan Abdul Hamid sebagai Kuasa Hukum Hendry Khoerniawan, menilai penetapan kliennya sebagai tersangka oleh Penyidik Kejaksaan Negeri Weda, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng),
Dalam kasus dugaan korupsi proyek Rumah Instan Sederhana dan Sehat (Risha) Tahun Anggaran 2018, adalah tindakan yang prematur dan terkesan sebagai kriminalisasi.
Dalam pandangan hukum, Irwan menilai proses penyidikan ini telah ‘melompati pagar hukum’ dengan mengabaikan pihak yang seharusnya bertanggung jawab, yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Penilaian tersebut disampaikan Irwan Abdul Hamid usai bertemu kliennya di Rumah Tahanan (Rutan) Weda, yang kini berstatus tersangka dalam kasus pembangunan 100 unit Risha di Desa Lelilef Waibulan, Kecamatan Weda Tengah pada tanggal 17 dan 18 Agustus 2025.
Irwan mengungkapkan kejanggalan utama, yaitu penetapan tersangka pada Hendry yang merupakan kontraktor, sementara PPK sebagai pemilik proyek belum ditetapkan tersangka berkaitan dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai turut serta artinya harus ada pelaku utamanya.
Selain itu, klien kami justru dipaksa memberikan keterangan soal sejumlah uang yang diberikan kepada PPK,” ujar Irwan, menegaskan adanya upaya pengalihan tanggung jawab dari PPK.
Ia menyoroti bahwa pada tanggal 14 Oktober 2025, kliennya yang semula diperiksa sebagai saksi, kemudian secara tiba-tiba dan/atau tanpa dasar hukum yang jelas telah ditetapkan sebagai Tersangka dan selanjutnya langsung dilakukan penahanan.
Irwan membeberkan momen krusial saat pemeriksaan kliennya oleh Kasi Pidsus Kejari Halteng, yang diidentifikasi bernama Imam. Kliennya bahkan mempertanyakan dasar penahanan, mengingat pekerjaan sudah rampung 100%.
“Klien saya menanyakan, ‘Pak Imam, mau tanya, saya salahnya di mana? Kasus korupsi apa yang bikin saya ditahan jadi tersangka?’ Pekerjaan ini sudah 100%,” kata Irwan menirukan ucapan kliennya.
Dalam keterangan Kliennya, Jaksa disebut tidak dapat menunjukkan bukti kerugian negara. “Dia tidak bisa kasih lihat (bukti kerugian negara), dia bilang nanti tunggu BPKP baru saya kasih tahu Bapak. Klien saya bilang, ‘Saya belum tahu kesalahannya apa kenapa Bapak bisa tahan saya. Seharusnya Bapak bisa bilang kesalahan saya ini kasus korupsi dari mana-darimana.’”
Irwan menilai, penahanan Hendry tanpa adanya kejelasan kesalahan dan tanpa hasil audit kerugian negara yang pasti menunjukkan penyidikan ini prematur dan melanggar prinsip praduga tak bersalah.
Kuasa Hukum juga memaparkan bahwa pelaksanaan proyek telah memenuhi syarat-syarat khusus kontrak (SSKK) dengan masa berlaku 17 Oktober 2018 s/d 30 Desember 2018 dan masa pemeliharaan enam bulan.
Pekerjaan dilaksanakan sesuai ruang lingkup dan spesifikasi teknis yang tercantum dalam Kontrak Kerja dengan PPK Dinas PERKIM Halteng.
Irwan merinci bahwa proyek Rumah Instan Sederhana dan Sehat (Risha) Tahun Anggaran 2018 sebesar Rp. 11.190.000.000,-
Nilai Kontrak Setelah PPN & PPH: Rp. 9.867.545.454,- Pembayaran ke Pihak Conwood House: Rp. 4.675.000.000,- Sisa Nilai Kontrak: Rp. 9.867.545.454 – Rp. 4.675.000.000 = Rp. 5.192.545.454,-
Rincian Pencairan Tahap Pencairan Awal: Rp. 1.973.509.041,- Tahap Kedua: Rp. 3.947.018.182,- Tahap Ketiga: Rp. 2.960.263.637,- Total Pencairan: Rp. 1.973.509.041 + Rp. 3.947.018.182 + Rp. 2.960.263.637 = Rp. 8.880.790.860,-
Setelah barang dibeli harus di angkut yakni dari Jakarta ke Surabaya, dan dilanjutkan menggunakan kapal ke Weda. Biaya operasional yang membengkak akibat keterlambatan juga harus dipertimbangkan.
“Belum lagi proses menunggu pekerjaan yang lama tentunya biaya operasional akan membengkak, hal ini juga perlu dipertimbangkan, jangan hanya menghitung kerugian tetapi tidak melihat biaya-biaya yang timbul dari pekerjaan tersebut.
Proses hukum harus fair dan tidak terkesan mencari-cari kesalahan,” tegas Irwan.
Irwan juga menyoroti kendala lapangan, di mana kontrak awal Oktober 2018, namun barang baru tiba di lokasi Desember 2018 karena harus menunggu penyiapan lahan oleh Dinas Perkim.
Bahkan, pekerjaan terhambat oleh pemilik lahan yang menuntut ganti rugi, di mana kontraktor dan pekerja sempat diteror dan diancam.
“Ini bukti ada kendala di luar kuasa kontraktor yang seharusnya menjadi tanggung jawab PPK,” katanya.
Kuasa Hukum Hendry Khoerniawan, Irwan Abdul Hamid, secara tegas menyatakan keraguan terhadap validitas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) lapangan yang mungkin dijadikan dasar penetapan tersangka.
“Berita acara pemeriksaan lapangan tanpa disaksikan oleh pihak kontraktor patut diragukan karena pemeriksaan haruslah objektif, bukan subjektif,” kata Irwan.
Ia menekankan bahwa keabsahan temuan di lapangan harus benar-benar fair dan melibatkan semua pihak terkait, termasuk kontraktor yang melaksanakan pekerjaan.
“Kami khawatir BAP lapangan tersebut dibuat secara sepihak dan tidak mencerminkan kondisi riil serta spesifikasi pekerjaan yang sudah 100% dilaksanakan,” tambahnya.
Hendry Khoerniawan saat ini berstatus tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-785/Q.2.15/Fd.2/10/2025.
Irwan Abdul Hamid menegaskan pihaknya akan segera mengambil langkah hukum, termasuk mengajukan Praperadilan, untuk membuktikan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya adalah tindakan yang keliru dan bentuk nyata kriminalisasi, tutupnya.







