Di setiap anak adat Pelauw, setiap lelaki, terikat sehelai kain putih Lahatale, lambang kesucian, penghormatan, dan ikatan batin antara manusia, leluhur, dan Sang Pencipta.
Lahatale bukan sekadar kain. Ia adalah janji janji untuk menjaga adat, menegakkan marwah, dan memelihara keseimbangan antara dunia yang terlihat dan yang tak kasatmata.
Ketika Lahatale diikat di kepala, seolah para leluhur menumpangkan tangan mereka, memberkati langkah dan meneguhkan hati dalam tarian Cakalele Maatenu.
Dalam irama gong dan tifa, hentakan kaki para penari menggema di bumi Pelau. Setiap gerak, setiap ayunan parang, adalah doa.
Dan di balik gemuruh itu, Lahatale berkibar lembut, putihnya bersinar bagai cahaya doa yang naik ke langit, memuliakan Sang Pencipta dan memanggil restu para leluhur.
Di saat itu, manusia, tanah, dan roh nenek moyang berpadu dalam satu tarikan napas adat.
Cakalele Maatenu bukan sekadar tarian perang ia adalah wujud syukur, penghormatan, dan pengingat bahwa dalam setiap tetes darah dan keringat anak Pelau, mengalir nilai-nilai luhur yang tak lekang oleh waktu.
Lahatale kain putih di kepala itu menjadi saksi bisu bahwa adat bukan sekadar masa lalu, melainkan kehidupan yang terus berdenyut di dada setiap anak Pelau.
Pelauw, Matasiri, 5 November 2025
(Mus Latuconsina)
Kaperwil Maluku (SP)







