Langit Sentul siang itu berwarna kelabu, seakan menyembunyikan matahari di balik tirai hujan yang turun lembut seperti doa.
Di tepi jalan, di bawah payung tenda kecil yang sudah miring dimakan waktu, seorang lelaki berdiri menjaga kendaraan yang bukan miliknya.
Ia tukang parkir, juga penjual jas hujan dua pekerjaan yang menuntutnya bergaul akrab dengan sabar dan dingin.
Jaketnya usang, tangannya pecah-pecah, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang suci: ketulusan yang tak pernah meminta balas.
Hari itu Jumat, 24 Oktober 2025, hari yang katanya penuh berkah. Namun siapa sangka, keberkahan itu akan menemuinya dengan cara yang begitu halus.
Dari balik keramaian, datanglah seorang bernama Muhamad Daniel Rigan (MDR).
Wajahnya teduh, langkahnya ringan, tapi hatinya membawa niat besar menebar kebaikan tanpa pamrih.
Ia menghampiri lelaki tua itu sambil tersenyum, membawa dua pilihan di tangannya:
seikat buket bunga mawar berbalut kertas cokelat lembut, dan selembar uang tunai yang tampak baru keluar dari dompet.
“Pak,” katanya ramah, “hari ini saya ingin Bapak memilih bunga atau uang.”
Lelaki tua itu terdiam. Matanya berpindah dari uang ke bunga, dari realitas ke rasa.
Angin berhembus membawa aroma tanah basah dan mawar yang samar.
Lalu ia menghela napas pelan.
“Bunga saja, Pak,” ucapnya lirih, nyaris seperti doa.
“Istri saya di rumah suka bunga, tapi sudah lama tak saya beri. Hidup keras, pak, tapi cinta harus tetap mekar.”
Muhamad Daniel Rigan tersenyum, lalu menyerahkan buket itu ke tangannya.
Bapak itu menerimanya hati-hati, seolah di tangannya bukan bunga, melainkan sesuatu yang jauh lebih berharga kenangan, cinta, dan pengharapan yang disulam jadi satu.
Namun sebelum lelaki itu beranjak, MDR menatapnya dalam dan berkata dengan suara yang hangat, “Pak… di dalam buket itu, ada sedikit rezeki.
Ada uang satu juta rupiah, saya selipkan di antara kelopak bunga.”
Seketika dunia seolah berhenti.
Hujan yang semula turun deras tiba-tiba menjadi hening.
Lelaki tua itu menatap bunga di tangannya dengan mata yang gemetar. Lalu, tanpa kata, ia menunduk. Kedua tangannya bergetar, lalu jatuh perlahan ke tanah yang lembab.
Ia bersujud syukur di bawah hujan — di atas tanah Sentul yang basah dan saksi bagi keikhlasan.
Air hujan bercampur dengan air matanya, membasuh wajah yang setengah tersenyum, setengah bergetar oleh haru.
“Ya Allah…” gumamnya di sela isak, “Engkau kirim rezeki lewat bunga. Engkau tunjukkan kasih lewat tangan hamba-Mu.”
Muhamad Daniel Rigan berdiri memandang, .
Ia tak berkata apa-apa, hanya meletakkan tangannya di dada, tanda hormat dan haru atas sujud seorang yang hidup dari keikhlasan.
Bapak itu bangkit perlahan. Hujan menetes dari keningnya, tapi senyumnya bersinar secerah matahari yang sembunyi di balik awan.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Bunga ini… bukan cuma untuk istri saya. Tapi juga tanda bahwa Allah masih ingat pada hamba yang kecil ini.”
Ia lalu berjalan pulang, menggenggam buket itu seperti menggenggam cahaya.
Di antara kelopak bunga, terselip uang sejuta, namun di antara detak jantungnya, terselip rasa yang jauh lebih besar syukur yang tak terhitung.
Dan di rumah, ketika istrinya menerima bunga itu, aroma mawar memenuhi udara.
Mereka menatapnya lama, lalu saling berpandangan dalam diam yang paling indah.
Sebab mereka tahu, cinta yang dipilih dengan hati akan selalu mendatangkan rezeki entah dari langit, entah dari tangan manusia, tapi selalu dari Tuhan yang sama.
Malam turun perlahan.
Di luar, hujan kembali turun, tapi di dalam rumah kecil itu, hati dua manusia sederhana telah menjadi taman taman tempat cinta, syukur, dan bunga tumbuh dalam satu keindahan yang sama.
Kaperwil Maluku (Sulaiman Papalia)







