Melawan Lupa: Savanajaya, Tugu Pertama dan Para Tapol yang Dikubur Tanpa Nama

Oleh Muz MF. Latuconsina

 

Bacaan Lainnya

Angin Waeapo bertiup pelan, menyapu ilalang di sepanjang tanah yang dulu sunyi dan asing. Di satu sudut desa Savanajaya, Kecamatan Waiapo, Kabupaten Buru, sebuah tugu berdiri senyap.

 

Tak megah, tak mulia, tak berwarna emas atau marmer. Tapi ia berdiri dengan setia, menjaga sesuatu yang tak bisa disuarakan oleh batu, namun tak pernah pergi dari tanah ini: ingatan.

 

Tugu itu yang pertama. Dibangun di masa ketika manusia dianggap lebih kecil dari ideologi, dan nama seseorang bisa hilang hanya karena arah pikirannya menyimpang dari arus kekuasaan.

 

Di sekitar tugu itu, ribuan tapol tahanan politik yang dituduh terlibat PKI pernah dikirim dari berbagai sudut negeri, jauh dari kampung halaman dan suara keluarga.

 

Diangkut dalam kapal-kapal gelap menuju sebuah pulau yang mereka tak kenal, lalu diturunkan di Waeapo tanpa pengadilan, tanpa keputusan hukum, hanya satu kalimat pendek: “bekerja.”

 

Pulau Buru tak pernah minta menjadi kuburan diam. Tapi sejarah menanam luka di tanahnya.
Tapol-tapol itu disebar ke dalam “unit-unit rehabilitasi” kamp kerja yang ditata di tengah belantara, di antara rawa, hutan, dan sungai.

Mereka dipaksa membuka lahan. Menebas rimba. Menanam padi di tanah basah yang tak mereka kenal. Membelah tanah menjadi petak-petak sawah.

 

Hari-hari mereka tak diisi harapan, melainkan upaya bertahan. Dari lapar, dari nyamuk, dari dingin malam, dari bentakan senapan. Banyak yang tak kuat.

 

Banyak yang rebah. Tapi yang mati tak pernah diberi upacara. Tak ada batu nisan. Tak ada papan nama. Mereka dikubur tanpa suara, tanpa tanda, tanpa doa.
Mereka ditanam. Tapi tak pernah benar-benar mati.

Kini, di Savanajaya, sawah-sawah hijau menghampar. Padi menunduk di musim panen. Anak-anak petani berlarian di pematang.

 

Kerbau berjalan lambat menarik bajak. Siapa pun yang lewat mungkin tak sadar bahwa semua ini lahir dari tubuh-tubuh yang dulu dipaksa bekerja, dari orang-orang yang tak pernah diundang kembali ke tanah kelahirannya.

 

Dan di tengah semua itu, tugu pertama itu tetap berdiri. Ia tak banyak bicara, tapi diamnya menyimpan sejarah. Ia tahu siapa saja yang pernah datang.

 

Ia tahu berapa banyak yang tak pernah pulang. Ia tahu, tapi memilih membisu. Karena mungkin, ia pun tahu bahwa negeri ini belum siap mendengar.

 

Tak ada pelajaran di sekolah yang menyebut mereka dengan utuh. Tak ada peringatan resmi. Tak ada hari nasional untuk mereka yang pernah diseret, dicabut dari rumah, dibuang ke tanah asing, dan dipaksa hidup seperti bukan manusia.

 

Padahal, mereka bukan pemberontak bersenjata. Mereka adalah guru, wartawan, petani, seniman, dokter, pilot, pegawai kereta api dan lain-lain.

Mereka bukan penjahat, tapi korban. Mereka bukan hantu sejarah, tapi bagian dari tubuh bangsa yang dengan sengaja dihapus dari peta ingatan.

 

Kini, generasi baru menanam padi di tanah yang dulu dibuka dengan tangis. Kita memanen dari lahan yang disiram oleh peluh dan penderitaan. Kita menikmati hasil, tanpa pernah mengenal siapa yang memulai.

 

Tugu di Savanajaya bukan sekadar monumen. Ia adalah penjaga sunyi, pengingat bahwa sejarah tak boleh dibiarkan padam.

 

Bahwa nama-nama yang dulu ditanam tanpa nisan tetap layak dikenang. Bahwa luka tak sembuh hanya karena kita memilih membungkamnya.

 

Ia berdiri untuk mereka yang tidak sempat menyuarakan pembelaan. Untuk mereka yang dikebumikan tanpa kabar. Untuk mereka yang hingga hari ini, namanya hanya tinggal dalam cerita-cerita lirih para penyintas.

 

Dan bagi kita yang hidup hari ini—yang berjalan bebas di tanah yang dulu menjadi buangan tugu itu mengingatkan:
bahwa di tempat ini, pernah ada manusia yang dibuang tanpa alasan,
pernah ada nama-nama yang dikubur tanpa tanda,
dan pernah ada sejarah yang dipaksa diam.

 

Tapi selamanya, tidak ada batu yang bisa benar-benar membungkam kebenaran.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *