Oleh: Muz MF. Latuconsina
Wacana legalisasi minuman tradisional Maluku, sopi, yang dilontarkan Wakil Gubernur Abdullah Vanath menuai kontroversi.
Kelompok agamis langsung bereaksi keras, memandangnya sebagai langkah yang bertentangan dengan ajaran agama.
Namun, jika ditilik lebih dalam, persoalan ini tidak melulu soal halal-haram, melainkan juga menyangkut aspek sosial, budaya, dan keadilan masyarakat kecil.
Dalam konteks ini, menarik untuk menengok kembali pandangan Ayatullah Ruhollah Khomeini tokoh revolusi Islam Iran tentang pentingnya ibadah sosial.
Khomeini menekankan bahwa ibadah sosial memiliki bobot yang lebih besar dibanding ibadah ritual semata. Dalam berbagai pidato dan tulisan,
ia menyatakan bahwa Al-Qur’an justru lebih banyak membahas nilai-nilai sosial seperti keadilan, pembelaan terhadap kaum tertindas, kesejahteraan rakyat, dan pengentasan kemiskinan ketimbang persoalan ibadah personal seperti shalat dan puasa.
Pandangan itu sangat relevan untuk dikaitkan dengan situasi di Maluku. Di berbagai daerah pedalaman Maluku,
sopi bukan hanya minuman, tapi juga sumber penghidupan. Petani-petani kecil di hutan, yang jauh dari akses pasar dan fasilitas negara, menggantungkan hidupnya dari menyuling sopi.
Aktivitas ini, meski ilegal, telah menjadi “ekonomi bayangan” yang menopang hidup ribuan keluarga.
Dalam kerangka ibadah sosial, membiarkan mereka terus-menerus diburu aparat karena menyuling sopitanpa ada alternatif kebijakan bisa dilihat sebagai bentuk kezaliman struktural.
Melegalkan sopi, jika dilakukan dengan pengawasan ketat, dapat menjadi jalan tengah yang manusiawi: rakyat kecil tetap bisa hidup, negara tetap bisa mengatur, dan kerusakan bisa diminimalisir.
Ayatullah Khomeini pernah berkata, “Agama tidak hanya berbicara tentang surga, tapi juga tentang roti di meja rakyat.” Ini adalah kritik tajam terhadap mereka yang hanya memaknai agama sebatas larangan-larangan pribadi, tapi menutup mata terhadap penderitaan sosial yang nyata.
Wagub Vanath, dalam usulan kontroversialnya, tampaknya justru sedang berusaha mengangkat aspek ibadah sosial itu meski caranya belum sempurna.
Ia membuka ruang diskusi: bagaimana kebijakan bisa berpihak pada keadilan sosial tanpa meninggalkan nilai-nilai etika.
Reaksi keras sebagian tokoh agama memang bisa dimengerti, tapi akan lebih bijak jika pendekatan mereka tidak hanya teologis, tetapi juga sosiologis. Sopi bisa tetap menjadi haram dalam pandangan agama, tapi para penyulingannya tidak bisa diperlakukan seolah-olah mereka pelaku kriminal.
Mereka adalah korban sistem yang gagal menghadirkan pilihan hidup yang layak.
Maka dalam semangat ibadah sosial yang diajarkan Khomeini—yakni berpihak pada yang lemah, memerangi kemiskinan, dan menegakkan keadilan—gagasan legalisasi sopi bukan soal membenarkan yang salah, tetapi mencari jalan keluar yang lebih berkeadaban.
Kaperwil Maluku (SP)