Oleh: Dr. Djalaudin Salampessy, SPI, SH, MSi. Ketua LSM Siwa Lima
Tenun dalam tradisi adat matasiri (Hatuhaha), dibagi dua kegiatan utama yakni maa’tenu dan maa mara tenun.
Maa tenu atau cakalele merupakan bagian yang diperankan oleh para lelaki baik orang tua ataupun anak muda yang telah baligh atau telah sunat.
Sedangkan maa mara tenun, merupakan persembahan tarian yang di tampilkan oleh remaja putri yang telah baligh.
Memaknai peran atas tradisi tenun ini di matasiri sebagai bagian dari tradisi Uli Hatuhaha yang mendiami pantai utara pulau Haruku, dengan pengaruh pemaksaan atas kedalaman ilmu pengetahuan yang didasarkan kajian Alqur’anul karim (huruf hijaiyah) dimana tenun itu BERASAL dari HURUF Ta (ت) dan huruf NUN (نْ) dibaca TE-NUN.
Memaknai kedua huruf ini, dimana Ta yang ber titik dua di tengah, dengan hakiki pada sifat bapa atau laki-laki dan NUN yang memiliki satu titik penanda sebagai simbol ibu atau perempuan,
Maka tenun merupakan pemaknaan yang dalam dan memiliki unsur kehidupan yang dinamis dalam kesucian.
Maa’tenu sebagai simbol kelaki lakian harus bergerak terus, dinamis dengan semangat dan tetap harus terkendali dalam akal pikir yang logis dan tetap bergerak menuju pusaran kehormatan (ekonomi dan sosial budaya) .
Para lekaki yang mengikuti acara maa tenu harus suci, bersih diri dan mendapat restu orang tua (simbolik Ta, Nun) yang selanjutnya dituntun untuk restu keluarga besar terutama orang tertua dalam keluarga baik pihak bapak maupun ibu.
Demikian halnya dengan maa’mara tenun, seorang remaja putri harus mendapat restu kedua orang tuanya setelah permintaan maa oi tita atas petunjuk upu latu Nusa barakate.
Kemudian semua prosesi pentahapan dan persiapan untuk mara tenun bisa dimulai.
Dalam konten itulah, pemahaman tenun dalam kaidahnya adalah proses muhasabah diri, dengan memulai dari permohonan ijin,
Permintaan maaf pada keluarga sebagai bentuk hormate orang tua tua (maa tupa rumah nainyi) dan keluarga dalam lingkungan terdekat, bagi yang telah berkeluarga harus mendapat ijin isteri.
Dalam proses mensucikan diri inilah kemudian menjadi pegangan atas kekuatan yang membuat rasa percaya diri atas anugerah Allah untuk kekebalan diri.
Ketika restu orang tua,/isteri belum diberikan maka banyak dari anak2 yang ikut maa’tenu selalu terkoreksi, walaupun secara komunal proses keberkahan dari negeri sudah dipersiapkan sesuai kewenangan marga dalam tugasnya untuk menjaga proses adat TeNun, tetapi sebelum itu konspsenya diri sendiri sudah dipersiapkan kesuciannya.
Hikmah TeNun.
Sebagai anak adat kesatuan masyarakat Hatuhaha, (tradisi maa tenu ada pada lima negeri) spesifik matasiri, memulai tradisi pembersihan diri, memohon ijin dan restu orang tua, isteri dan famili terdekat.
Menjaga dinamisasi kelaki lakian dalam wujud yang dinamis, menjaga sifat keputrian dari wanita matasiri dengan nada dan ritme tarian yang konsisten melambangkan komitmen dan keteguhan seorang wanita dalam kedalaman kepribadian dan menjunjung budi adat.
Menyelami tradisi tenun ini, maka anak Hatuhaha dalam konteks regional pulau Haruku (matasiri) dalam hidupnya harus tetap berakal budi dalam sopam
Kuruhaji, howa kura ole ole, taha taha, sebagai pengejawantahan dari kesucian diri TeNun mala’ai. Wallahu alam bissawaf
Kaperwil Maluku (SP)







