Oleh: Dr. Ir. Abraham H. Tulalessy, MSI, Ahli Pencemaran Lingkungan, ketua pusat study lingkungan UNPATTI.
Keberadaan potensi sumber daya alam di wilayah petuanan masyarakat adat, seperti yang kini terjadi di Buru Selatan, patut disyukuri dan dimanfaatkan secara bijaksana.
Penemuan lokasi penambangan baru yang dikelola langsung oleh masyarakat adat merupakan langkah maju dalam pengelolaan sumber daya yang berbasis kearifan lokal.
Namun, di balik peluang besar ini, ada tanggung jawab yang tak bisa diabaikan: regulasi, lingkungan, dan keselamatan masyarakat itu sendiri.
Langkah awal yang perlu menjadi perhatian masyarakat adat adalah pemenuhan aspek hukum dan regulasi.
Pengelolaan tambang, meskipun dilakukan oleh komunitas lokal, tetap harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Salah satu opsi strategis adalah membentuk koperasi masyarakat adat sebagai entitas hukum. Koperasi ini dapat mengajukan izin Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) seluas maksimal 100 hektare, atau jika mampu memenuhi syarat tertentu, bisa mengusulkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan luasan hingga 2.500 hektare.
Namun, legalitas saja tidak cukup. Pengelolaan tambang rakyat harus berjalan seiring dengan prinsip keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.
Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida sudah semestinya ditinggalkan.
Selain membahayakan lingkungan, zat-zat tersebut juga mengancam kesehatan masyarakat adat sendiri yang mengelola tambang.
Sudah banyak contoh di berbagai daerah yang menunjukkan betapa fatalnya dampak jangka panjang penggunaan zat kimia beracun dalam penambangan emas.
Sebaliknya, penambangan berbasis teknologi ramah lingkungan dan pendekatan ekologi harus menjadi jalan utama.
Hal ini bukan saja melindungi alam sebagai warisan leluhur, tetapi juga memastikan generasi berikutnya dapat mewarisi tanah yang tetap subur dan sehat.
Kegiatan pertambangan yang dikelola dengan baik akan memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan hidup.
Masyarakat adat memiliki hak atas wilayahnya, namun hak tersebut datang bersama tanggung jawab besar.
Keberhasilan pengelolaan tambang rakyat di tanah adat akan menjadi preseden penting bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Untuk itu, kolaborasi dengan pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil perlu dibangun agar proses ini berjalan dengan pendampingan yang tepat dan berkelanjutan.
Mari menjadikan potensi ini bukan hanya sebagai sumber ekonomi sesaat, tetapi sebagai tonggak sejarah bahwa masyarakat adat mampu mengelola sumber daya alam secara mandiri, legal, dan lestari.
Menambang emas tidak harus berarti menggali bencana—dengan kesadaran, kebersamaan, dan kehati-hatian, emas bisa menjadi berkah, bukan kutukan.
Kaperwil Maluku (SP)