Oleh: Muz MF. Latuconsina
Pada tanggal 8 April 1945, tepat pukul 12.00 WIT, di sebuah gedung tua yang kini nyaris dilupakan sejarah, terjadi peristiwa yang seharusnya menjadi tonggak kebangkitan rakyat Pulau Buru.
Yakni penyerahan kekuasaan dari HPB Gaspers perwakilan pemerintah kolonial Belanda kepada Adam Pattisahusiwa, atas nama revolusi rakyat Buru.
Peristiwa ini bukan sekadar serah terima administratif. Ia adalah pernyataan politik yang mengguncang sendi-sendi kolonialisme di kepulauan Maluku.
Di saat Belanda masih bercokol di banyak wilayah, rakyat Buru telah menunjukkan keberanian luar biasa: memutus mata rantai ketundukan dan mengambil alih kendali atas tanah leluhur mereka sendiri.
Adam Pattisahusiwa bukan hanya seorang pemimpin. Ia adalah simbol perlawanan, lambang harga diri, dan penjelmaan tekad rakyat Buru untuk tidak lagi menjadi penonton dalam panggung sejarah.
Di bawah bayang-bayang penjajahan yang lama dan penuh luka, beliau berdiri membawa obor kemerdekaanbukan dengan senjata, tetapi dengan kepercayaan dan legitimasi rakyat.
Sayangnya, sejarah seperti ini kerap luput dari ingatan publik. Kita begitu mudah mengenang para tokoh nasional, tetapi abai terhadap para pejuang daerah yang dengan gagah berani melawan di garis terdepan.
Di sekolah-sekolah, nama Adam Pattisahusiwa nyaris tak disebut. Di gedung tempat penyerahan itu berlangsung, tak banyak yang tahu jejak sakral yang pernah terpatri di dalamnya.
Hari ini, lebih dari tujuh dekade kemudian, menjadi kewajiban kita untuk menolak lupa. Pemerintah daerah, institusi pendidikan, media massa, dan masyarakat adat harus bergandeng tangan merawat ingatan ini.
Jadikan peristiwa 8 April sebagai momentum tahunan. gedung bersejarah itu kini telah menjadi cagar budaya. Bangun museum kecil atau prasasti pengingat.
Selenggarakan seminar, diskusi, atau napak tilas sejarah. Generasi muda perlu tahu bahwa di tanah Buru pun, api revolusi pernah menyala dengan gemilang.
Adam Pattisahusiwa bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah pesan bagi masa depan: bahwa harga diri, keberanian, dan cinta tanah air bukanlah milik segelintir orang, melainkan hak dan kewajiban seluruh anak negeri.
Melawan lupa, adalah bentuk paling tulus dari penghormatan.
Kaperwil Maluku (SP)