Fokuspost.com | Maluku – Merasa ada diskriminasi agama,
seperti pembubaran doa Rosario Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang dan pembubaran ibadah Gresik Jawa Timur, membuat mahasiswa adat Buru Jakarta membuat pernyataan sikap.
Kasus pemukulan yang disertai pembacokan yang dialami sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (“Unpam”) pada Minggu, 5 Mei 2024 di Babakan, Cisauk, Tangerang Selatan, Banten saat melakukan ibadah Doa Rosario, merupakan kejahatan intoleransi yang tidak boleh dibiarkan.
Video kejadian yang menunjukkan adanya tindakan aktif oleh ketua Rukun Tetangga (“RT”) yang melarang beribadah, sekaligus mendesak untuk memindahkan ibadah doa yang sedang berlangsung ke Gereja.
Alasan yang dikemukakan oleh Ketua RT ialah ibadah dilaksanakan terlalu malam. Alih-alih menjamin kebebasan dan kemerdekaan warga untuk beribadah, Ketua RT setempat justru melakukan tindakan yang memancing kebencian antar umat beragama, yang disertai kekerasan.
Padahal, sebagai elemen negara dalam lingkup terkecil, Kepengurusan RT sebagaimana diatur dalam pasal 5 Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, memiliki tugas dan mandat yang salah satunya ialah “menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat”.
Baru saja mereda kasus pembubaran ibadah di Tangerang Selatan, kemudian muncul lagi kasus serupa di Gresik, Jawa Timu dimana peristiwa itu menimpa jemaat GPIB Benowo di Perumahan Cerme Kabupaten Gresik.
Saat itu ada sebanyak 30 jemaat yang tengah melakukan ibadah di sebuah rumah. Tiba-tiba ada satu keluarga yang mendesak agar kegiatan ibadah tersebut dihentikan. dimana kejadian pembubaran ibadah tersebut hanya berselang beberapa hari dengan kejadian di Tangerang Selatan.
Tindakan pelarangan terhadap sejumlah mahasiswa yang beribadah di ruang privat dan jemaat GPIB Benowo merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan sebagaimana bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD NKRI 1945 yang secara tegas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Serta Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu serta Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya”. Dalam berbagai peristiwa, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda agama/keyakinan, seringkali menyebabkan konflik sektarian yang meluas.
Pengalaman konflik internasional antar umat beragama/berkeyakinan di Timur Tengah dapat memberikan gambaran yang mengerikan tentang bagaimana kekerasan menjadi hal yang lumrah dan negara terjerumus menjadi negara gagal (failed states) karena tidak mampu menjalankan fungsinya. Begitu pula yang terjadi di Ambon dan Poso beberapa dekade lalu.
Gagalnya negara melakukan upaya pencegahan, sekaligus dugaan keterlibatan aparatur negara, terakumulasi menjadi faktor penyebab konflik. Ironisnya, ribuan jiwa yang sebelumnya hidup rukun menjadi korban, bahkan sampai memakan korban jiwa. Negara dalam kasus-kasus pelanggaran hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan (freedom of religion or belief) melalui aparat penegak hukumnya cenderung bertindak diskriminatif dengan mempersempit dan menyalahgunakan penerapan Pasal 156a KUHP pada bentuk-bentuk kebebasan berekspresi atau keyakinan dan pendapat dalam pengamalan (practice) yang merupakan manifestasi kemerdekaan beragama atau berkeyakinan terkhusus pada ruang digital. Padahal, bentuk kebebasan berekspresi dan pengamalan ini harus dijamin oleh Negara sebagaimana Pasal 6 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan Tahun 1981 yang juga dimuat dalam Standar Norma dan Pengaturan No. 2 Komnas HAM RI (“SNP Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”).
Berdasarkan uraian di atas, Ketum Format Buru Jakarta :
1. Mengecam tindakan diskriminasi dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran kepada sejumlah Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang;
2. Mengecam Tindakan diskriminasi dan pembubaran oleh sekelompok intoleran kepada jemaat GPIB Benowo Gresik jawa timur
3. Mendesak Aparat Penegak Hukum untuk mengusut tuntas dan memastikan adanya penegakan hukum yang adil dan transparan terhadap para pelaku intoleran serta terpenuhinya hak-hak korban dalam proses hukum, termasuk di dalamnya hak atas pemulihan;
4. Mendesak Pemerintah untuk serius menyikapi persoalan diskriminasi dan intoleransi di Indonesia dan memastikan agar tindakan serupa tidak terjadi lagi;
5. Mendesak Presiden melalui Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian RI serta DPR membuat Regulasi yang secara jelas untuk menjamin kemerdekaan beragama atau berkeyakinan serta menghapus regulasi-regulasi yang meneruskan praktik diskriminasi busuk.
Kaperwil Maluku (SP)