Mewahnya Rumah, Runtuhnya Kepekaan : Membedah Kebijakan Direnovasi Gubernur Maluku dari Kacamata Ekonomi Publik

Oleh: Abdulah Fatsey, Ketua Cabang HMI Namlea.

Di tengah tantangan ekonomi yang membelit banyak daerah mulai dari kemiskinan, pengangguran, hingga infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, air bersih, dan layanan kesehatan yang masih tertinggal,

Bacaan Lainnya

Renovasi rumah dinas Gubernur Maluku senilai 14,5 miliar rupiah tampak sebagai ironi kebijakan yang mencolok.

Anggaran sebesar itu, jika diarahkan ke sektor publik yang lebih urgen tentu dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

Renovasi rumah dinas Gubernur Maluku tidak hanya menyingkap ketimpangan prioritas, tetapi juga mencerminkan lemahnya sensitivitas sosial dan kegagalan kepemimpinan dalam menempatkan kebutuhan rakyat di atas kepentingan simbolik kekuasaan.

Di tengah sempitnya fiskal daerah, renovasi rumdis Gubernur Maluku yang memakan milyaran rupiah itu mengundang kritik tajam dari berbagai pihak atas etika pengelolaan anggaran publik yang itu sekaligus mempertegas jurang antara elit dan rakyat.

Dari sudut pandang kebijakan ekonomi, anggaran publik seharusnya dikelola dengan prinsip efisiensi, keadilan, dan kebermanfaatan luas.

Ketika anggaran sebesar Rp.14,5 miliar dialokasikan hanya untuk merehab rumah gubernur. Pertanyaan mendasarnya adalah apa nilai guna sosial dari renovasi itu atau apakah ini sekedar simbolisme kekuasaan yang terputus dari denyut kebutuhan masyarakat ? Dan yang lebih penting lagi, apa nilai pengorbanan (opportunity cost) dari alokasi itu ??

Tadinya orang berpikir inilah figur baru yang kontras MI, lebih merakyat, memprioritaskan kepentingan umum dan seterusnya. Tetapi tidak juga, gubernur Maluku faktanya telah mencatat sejarahnya mengulang luka, mengumpul ranting menyalakan bara amarah rakyat yang menentang banjir dengan nyawanya, banyak hal yang lebih urgen, lebih substansi hanyut dibawa banjir timur menerpa. Gubernur Maluku (pa Hendrik Lewaerisa) kau lupa suara rakyat suara tuhan ?

Setiap rupiah dalam APBD yang digelontorkan untuk satu pos belanja, berarti mengurangi peluang pembiayaan untuk kebutuhan lain.

Misalnya, satu rumah dinas yang direnovasi mewah, bisa jadi artinya tertundanya pembangunan tiga posyandu, tiga jembatan penghubung desa, atau ratusan beasiswa anak-anak dari keluarga miskin.

Di sinilah letak krisis kepekaan dalam kebijakan fiskal daerah. Ketika estetika elite lebih diprioritaskan ketimbang urgensi rakyat.

Kritik ini bukan berarti menolak pentingnya fasilitas negara bagi pejabat publik. Namun, dalam konteks ekonomi daerah yang tergolong rapuh dan pembangunan sosial yang belum merata, pengeluaran besar untuk kebutuhan non-esensial seharusnya tunduk pada prinsip kehati-hatian dan kepantasan moral.

Seorang gubernur semestinya menjadi simbol integritas dan kesederhanaan, bukan pemilik istana megah yang dibangun dari uang rakyat.

Lebih jauh, kebijakan seperti ini mencerminkan persoalan struktural dalam perencanaan anggaran. Minimnya partisipasi masyarakat, lemahnya transparansi, dan hilangnya kontrol etis dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam banyak kasus, proyek rehab rumah jabatan hanyalah salah satu dari banyak proyek “kosmetik birokrasi” yang mengalir deras setiap tahun, tanpa evaluasi manfaat jangka panjang.

Rakyat menuntut kebijakan fiskal yang lebih berkeadilan, partisipatif, dan berpihak kepada kepentingan umum yang lebih luas. APBD bukanlah instrumen untuk memoles citra pejabat, tetapi senjata utama untuk menyejahterakan rakyat.

Karena pada akhirnya, rumah megah tidak akan pernah menyelamatkan seorang pemimpin dari runtuhnya kepercayaan publik.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *