Muhammad Thayyib Hentihu – Penjaga Adat, Pejuang Islam, dan Pemersatu Bangsa

Oleh: Aziz Hentihu

Di antara lembar-lembar sunyi sejarah Indonesia yang sering diisi nama-nama besar dari pusat kekuasaan, terdapat sosok dari timur Nusantara yang patut mendapat tempat terhormat dalam memori kolektif bangsa: Muhammad Thayyib Hentihu.

Bacaan Lainnya

Seorang Raja adat dari Pulau Buru, pemimpin Islam, dan politisi yang teguh memihak kepada Republik Indonesia di saat pilihan itu penuh risiko.

Catatan sejarah pada 28 Mei 1950 mencatat satu peristiwa penting: Mosi Hentihu. Dalam sebuah laporan resmi perwakilan Kerajaan Belanda di Makassar,

Tercatat bahwa Muhammad Thayyib Hentihu bersama 18 anggota lainnya mengajukan mosi agar “Indonesia Raya” dinyanyikan sebagai lagu resmi dalam upacara kenegaraan, menggantikan “Wilhelmus” – simbol kekuasaan kolonial Belanda.

Sebuah tindakan yang mungkin terdengar sederhana hari ini, namun pada masa transisi pasca pengakuan kedaulatan 1949, adalah pernyataan politik yang tegas dan penuh keberanian.

Hentihu bukan hanya sekadar politisi. Ia adalah Raja Leisela, pemegang amanah adat dan pemersatu rakyat Pulau Buru.

Di tengah tantangan integrasi nasional dan tarik menarik kepentingan lokal, beliau berdiri di garis depan, menegaskan bahwa adat tidak bertentangan dengan nasionalisme bahkan menjadi fondasinya.

Peran inilah yang menjadikannya bukan sekadar pemimpin adat, tetapi penghubung antara lokalitas Maluku dan nasionalisme Indonesia.

Sebagai tokoh Islam, keaktifannya di Masyumi dan Muhammadiyah menunjukkan satu konsistensi penting: bahwa perjuangan umat dan bangsa bisa berjalan beriringan.

Ia menjaga nilai Islam, memperjuangkan keadilan sosial, dan tetap bersetia pada garis perjuangan meski partai yang ia bela dibubarkan. Hingga era Orde Baru, ia tetap berkiprah melalui PPP, tanpa pernah berpaling dari cita-cita awalnya.

Di tengah gelombang perubahan politik, figur seperti Muhammad Thayyib Hentihu adalah jangkar.

Ia tidak larut dalam arus kekuasaan, tidak silau oleh tawaran jalan pintas, dan tidak kehilangan arah meski zaman berubah. Adat, Islam, dan Indonesia adalah tiga pilar yang ia jaga dengan hati dan perbuatan.

Kini, setelah lebih dari tiga dekade kepergiannya, warisan Hentihu tak hanya hidup dalam kenangan masyarakat Leisela, tetapi juga seharusnya menjadi bagian dari narasi besar sejarah Indonesia.

Dalam masanya, ia mungkin tidak menuntut panggung. Namun sejarah yang jujur akan selalu memberi ruang bagi mereka yang berjuang dengan ketulusan, keberanian, dan keikhlasan.

Muhammad Thayyib Hentihu adalah contoh nyata bahwa nasionalisme Indonesia tak dibentuk dari satu warna, satu agama, atau satu daerah tetapi dari keberagaman suara hati rakyat di seluruh penjuru Nusantara.

Dan di antara suara-suara itu, suara dari Pulau Buru, suara seorang Raja adat yang bersujud di hadapan Tuhan dan berdiri tegak di hadapan bangsa, tetap bergema hingga hari ini.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *