Fokuspost.com | Maluku – Haruskah putra daerah menjadi kepala daerah di Buru?
Berikut Mus Latuconsina, wartawan senior sekaligus dosen Ilmu Politik dan Sistim Pemerintahan Indonesia Universitas Terbuka (UT) akan menulis persoalan tersebut.
Sebenarnya istilah putra daerah bersifat netral, tidak ada
“devinisi baku” terhadap istilah tersebut, namun kalau didasarkan pada landasan hukum pemerintahan daerah melalui UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti UU nomor 32 tahun 2004, maka pengertian putra daerah dapat diartikan dari berbagai sudut pandang.
Pola isu putra daerah dulu populer pada jaman Orde Baru. Isu ini adalah PENDANGKALAN WACANA BERFIKIR dalam FRAME NEGARA KESATUAN. Karena undang-undang menjamin bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama, baik itu memilih maupun dipilih, hak dicalonkan dan mencalonkan. Jadi mengapa kita harus MENGKERDILKAN undang-undang dengan memakai istilah putra daerah.
Ada yang mengartikan putra daerah adalah seseorang yang memiliki GARIS KETURUNAN MURNI dari daerah dimana dia dilahirkan, mulai dari garis keturunan kakek, bapak, ibu, semuanya dari daerah tersebut. Istilah putra daerah lainnya adalah berdasarkan ikatan primordial, kedekatan kultur, lokalitas dan kejiwaan. Maka seseorang “putra/putri daerah” diasumsikan akan memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap daerahnya dibandingkan dengan “non putra/putri daerah”.
Ada juga “PUTRA DAERAH SOSIOLOGIS” yakni mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan genealogis dengan daerah asalnya tetapi juga hidup, tumbuh dan besar serta berinteraksi dengan masyarakat daerah itu.
Diskusi tentang pro dan kontra siapa yang pantas memimpin suatu daerah hampir menghiasi setiap pemilihan kepala daerah di Indonesia, biasanya berpusat pada argumen generik bahwa yang terbaik bagi suatu daerah adalah yang berasal dari daerah tersebut.
Kalau menggunakan pengertian atau divinisi pertama di atas, maka hampir dipastikan 99 persen tidak ada satupun yang benar-benar memenuhi syarat putra daerah (kecuali mereka yang bermarga Buru baik dari garis ayah maupun ibu), hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Kabupaten Buru berasal dari pulau Jawa, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, sedikit Sulawesi Selatan dan berbagai daerah di luar Provinsi Maluku, fakta ini dapat dilihat dari marga atau sebutan daerah asal yang biasanya dipakai di belakang nama. Yang lebih “dekat” pengertian ke putra daerah Buru adalah mereka yang bermarga asal Maluku karena Kabupaten Buru berada dalam wilayah Provinsi Maluku.
Bagi penulis, pro dan kontra putra daerah versus bukan putra daerah bisa jadi penting dan juga tidak penting, pasalnya yang terpenting bagi kita adalah kelayakan atau kapasitas seorang pemimpin bukan darimana dia berasal.
Menurut penulis, siapa saja boleh menjadi kepala daerah baik itu putra daerah maupun bukan putra daerah selama yang bersangkutan memenuhi syarat dan dipilih rakyat.
Kalau menggunakan pendekatan putra daerah pada poin pertama di atas, maka yang menarik juga adalah kelompok-kelompok penekan yang terdiri dari masyarakat maupun mahasiswa yang biasanya berdemo meneriakan putra daerah justru sebagian besar dari mereka bukan putra daerah Buru (pendatang) dan yang dijagokanpun bukan putra daerah terkecuali menggunakan istilah putra daerah sosiologis. (teori Samuel P. Huntington)
Bahwa soal putra daerah atau bukan putra daerah sebenarnya hanya perkara SEKUNDER. Sementara yang lebih PRIMER adalah kelayakan kepemimpinan sang kandidat.
Kaperwil Maluku (SP)