Oleh: Muz MF. Latuconsina
Otopsi terhadap jenazah Gunawan Tomagola, korban dugaan penganiayaan di Desa Seith, Kecamatan Teluk Kaiely, Kabupaten Buru, pada tanggal 6 Juni lalu akhirnya dilakukan oleh tim medis dari Polda Maluku.
Proses ekshumasi dilakukan oleh dokter forensik dari RS Bhayangkara, Ambon, Arkipus Pamutu dibantu tiga stafnya.
Langkah ini bukan sekadar prosedur forensik semata, melainkan bentuk nyata dari upaya penegakan hukum dan pencarian kebenaran atas insiden yang menyisakan luka sosial mendalam di tengah masyarakat.
Masyarakat Seith dan sekitarnya menaruh harapan besar pada proses otopsi ini. Bagi mereka, hasil pemeriksaan medis bukan hanya akan menjawab teka-teki penyebab kematian, tetapi juga membuka jalan bagi keadilan untuk ditegakkan. Kecurigaan adanya unsur penganiayaan harus diuji secara ilmiah, bukan sekadar berdasarkan desas-desus atau opini liar yang beredar.
Kehadiran tim dokter dari Polda Maluku memberikan sinyal bahwa negara hadir dan tidak menutup mata atas setiap persoalan yang melibatkan nyawa manusia. Kita perlu mengapresiasi langkah ini, seraya tetap mendorong agar hasil otopsi diumumkan secara terbuka, transparan, dan tidak ditunda-tunda.
Sebab, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum sangat bergantung pada keterbukaan informasi dan kesungguhan dalam menindaklanjuti setiap temuan.
Namun otopsi hanyalah awal. Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa setiap temuan forensik ditindaklanjuti melalui proses hukum yang adil dan akuntabel. Jika memang ada pelanggaran pidana, maka pelaku harus dibawa ke meja hijau tanpa kompromi.
Di balik prosedur medis ini, ada pertaruhan besar: menjaga marwah keadilan dan mencegah konflik sosial yang lebih luas. Dalam konteks itulah, kita semua—pers, masyarakat sipil, tokoh agama, dan aparat—memiliki peran masing-masing untuk menjaga kondusivitas dan tidak memperkeruh suasana dengan spekulasi tak berdasar.
Otopsi ini adalah pintu menuju kebenaran. Mari kawal bersama dengan pikiran jernih dan hati yang damai.
Kaperwil Maluku (SP)