Jakarta, – Belajar dari Perkara Tindak Pidana Nomor: 43/Pid.Sus-LH/2025/PN Nla. tanggal 30 Oktober 2025, yang menjerat Hermawan Makki, mengungkap kompleksitas tata kelola pertambangan rakyat di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku.
Melalui analisis mendalam terhadap fakta persidangan, pegiat hukum pertambangan menilai berbagai narasi yang menyudutkan Kapolres Buru sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dampak pertambangan di wilayah tersebut merupakan tuduhan yang menyesatkan dan tidak didasarkan pada konstruksi hukum yang utuh.
Berdasarkan fakta persidangan, kuasa hukum Hermawan Makki, Irwan, mengungkapkan keterangan kunci dari ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni Inspektur Tambang Kementerian ESDM RI, Firmansyah Adi Prianto, S.T., M.S.i. Keterangan ahli tersebut justru memperjelas peta masalah yang sebenarnya.
Ahli dari Kementerian ESDM tersebut secara tegas menyatakan bahwa Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang diterbitkan untuk 10 koperasi di Gunung Botak adalah sah secara hukum dan telah terverifikasi dalam sistem MODI.
“Ahli menerangkan bahwa kegiatan penambangan di dalam area koperasi seluas 100 hektar tersebut pada dasarnya adalah sah.
Namun, poin kritisnya adalah koperasi-koperasi tersebut masih diwajibkan untuk mengurus perizinan teknis lebih lanjut di luar izin pertambangan rakyat yang telah dimiliki,” jelas Irwan.
Dari keterangan ini, terlihat jelas bahwa masalah utama terletak pada pemenuhan persyaratan teknis operasional, yang menjadi tanggung jawab pemegang izin dan instansi teknis pemberi izin. Menilai sah atau tidaknya pemenuhan syarat teknis ini bukanlah kewenangan Kapolres Buru, melainkan kewenangan administratif pemerintah.
Tuduhan terhadap Kapolres Buru semakin tidak akurat ketika dikaitkan dengan persoalan peredaran hasil tambang.
Merujuk pada Pasal 1 Angka 13c peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, Izin Pengangkutan dan Penjualan (IPJ) secara eksplisit diberikan kepada “perusahaan” sebagai izin usaha yang bersifat korporasi.
“Dengan demikian, sangat keliru secara hukum jika kemudian Kapolres Buru disalahkan terkait adanya individu atau pihak yang diduga mengangkut dan menjual komoditas tambang tanpa izin korporasi yang sah. Tugas polisi adalah menegakkan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi, bukan sebagai pemberi izin usaha,” tegas seorang irwan
Irwan sebagai pegiat hukum mengingatkan bahwa tugas Kepolisian, termasuk Kapolres Buru, adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum. Dalam konteks Gunung Botak, Kapolres dihadapkan pada situasi yang dilematis: menindak aktivitas yang secara administratif belum lengkap, sambil menjaga stabilitas sosial-ekonomi masyarakat.
“Menyudutkan Kapolres sebagai pihak yang bertanggungjawab adalah simplifikasi masalah yang berbahaya. Narasi ‘aksi pojokan’ seperti ini justru mengalihkan perhatian dari akar persoalan, yaitu lambatnya penataan dan pembinaan dari pemerintah pusat dan daerah terhadap klaster pertambangan rakyat ini,” tambahnya.
Selain itu, Irwan sebagai pegiat hukum mendorong semua pihak untuk membangun opini yang bijak, proporsional, dan berdasarkan data hukum yang akurat, alih-alih narasi liar yang hanya mencari kambing hitam.
Penyelesaian berkelanjutan untuk Gunung Botak hanya dapat terwujud melalui kolaborasi sinergis antara Pemerintah Pusat (terutama Kementerian ESDM), Pemerintah Daerah Provinsi Maluku dan Kabupaten Buru, serta Kepolisian. Pemerintah didorong untuk mempercepat proses tata kelola, mempermudah akses perizinan teknis, dan memberikan pendampingan intensif agar koperasi dapat sepenuhnya memenuhi seluruh aspek legalitas dan pelibatan masyarakat dalam kegiatan pertambangan legal.
Sehingga Kapolres Buru dapat menjalankan fungsi penegakan hukumnya dengan lebih jelas dan efektif, berlandaskan kepastian hukum yang diciptakan oleh otoritas yang berwenang, tutupnya.
KAPERWIL MALUKU (SP)







