Jakarta – Pegiat Hukum Magister Ilmu Hukum Pidana, Irwan Abd. Hamid, menanggapi pemberitaan Tribun Ambon.com terkait desakan Lembaga Pengkajian Pengawasan Hukum Indonesia (LPPHI) agar Kapolda Maluku mencopot Kapolres Buru, AKBP Sulastri Sukidjang. Desakan ini dilatarbelakangi dugaan pembiaran aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang merajalela di Kabupaten Buru, Maluku, yang telah menimbulkan banyak korban jiwa.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) LPPHI, Anshari Betekeneng, menyatakan bahwa aktivitas tambang ilegal di Gunung Botak telah berlangsung selama sekitar 15 tahun dan menjadi mata pencaharian utama para penambang. 10/3/2025.
Irwan menilai pemberitaan tersebut diskriminatif dan menunjukkan kurangnya pemahaman dan gagal paham mengenai status PETI di Gunung Botak. Ia menegaskan bahwa perizinan dan pengawasan pertambangan merupakan tanggung jawab Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), bukan hanya Kapolres Pulau Buru.
“Dalam ilmu pidana, terdapat perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan niat dan kehendak untuk menimbulkan akibat tertentu, sedangkan kelalaian adalah perbuatan tanpa niat dan kehendak untuk menimbulkan akibat tersebut,” jelas Irwan.
Ia menambahkan bahwa para penambang rakyat mengetahui risiko dari aktivitas penambangan yang tidak sesuai dengan kaidah teknik pertambangan yang baik (Good Mining Practice/GMP). Namun, faktanya setiap kali penertiban aparat melakukan pengosongan lokasi para penambang semuanya menghindar dari penertiban. Setelah aparat kembali ke namlea pada malam hari mulai memadati lokasi dan membangun kembali kem-kem dan tempat menggali lubang dan perendaman yang sudah di bakar tersebut.
Irwan menambahkan, bahwa perlu di catat areal pertambangan di Pulau Buru, mulai dari tambang Gunung Botak, Gogorea, dan sekitarnya, baru memiliki Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan belum mengantongi Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Olehnya itu, Proses kegiatan di tambang-tambang PETI bukan sepenuhnya tanggung jawab Kapolres Buru. Hal ini perlu dipahami. Silakan tanyakan kepada Kementerian ESDM di Jakarta atau Dinas ESDM Provinsi Maluku mengapa perizinan Gunung Botak belum diterbitkan,” tambahnya.
Selain itu, Irwan meminta semua pihak untuk tidak menyalahkan Polres Buru dalam menangani permasalahan pertambangan di wilayah tersebut. Ia menekankan pentingnya pemahaman yang komprehensif mengenai tanggung jawab masing-masing pihak dalam penegakan hukum terkait PETI.
“Ketua Umum DPN LPPHI, Anshari Betekeneng, sebaiknya tidak hanya fokus pada desakan pencopotan Kapolres Buru. Lebih konstruktif jika LPPHI dapat mendorong Pemerintah Pusat untuk mempercepat proses legalisasi Izin Pertambangan Rakyat (IPR) bagi para penambang di Gunung Botak,” ujar Irwan.
Menurut Irwan, legalisasi pertambangan rakyat akan memberikan kepastian hukum bagi para penambang, meningkatkan kesejahteraan mereka, dan meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan.
“Dengan membantu proses legalisasi, LPPHI dapat berkontribusi secara nyata dalam menyelesaikan permasalahan PETI di Gunung Botak. Ini akan lebih efektif daripada sekadar menyalahkan aparat penegak hukum di daerah,” tutupnya.
Kaperwil Maluku (S.Friski)