Pengacara Taib Warhangan, S.H.M.H. Dukung Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa Tempuh Kebijakan Pinjaman Daerah

Edotorial Oleh: Drs. Muz Latuconsina, MF.

Langkah Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, dalam menempuh kebijakan pinjaman daerah layak diapresiasi sebagai ikhtiar serius untuk memacu percepatan pembangunan di Bumi Raja-Raja.

Bacaan Lainnya

Ketika kebutuhan pembangunan semakin mendesak, sementara ruang fiskal daerah kian menyempit, pilihan untuk menggunakan instrumen pinjaman bukan sekadar opsi teknokratis ia adalah keputusan strategis.

Gubernur Lewerissa, dengan kecerdasan, keberanian, dan visi pembangunan yang terarah, memahami betul dari titik mana pembangunan harus dimulai dan ke arah mana masa depan Maluku harus dibawa.

Dalam konteks inilah, dukungan Pengacara Taib Warhangan, SH. MH, menjadi suara penting yang meneguhkan.

Melalui pernyataannya, Taib mengingatkan publik bahwa di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, mekanisme pengawasan anggaran dan penegakan hukum berjalan jauh lebih ketat dan aktif.

Penegasan ini memberikan keyakinan bahwa penggunaan pinjaman daerah tetap berada dalam rel hukum, kehati-hatian fiskal, serta akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sesungguhnya, kebijakan pinjaman daerah bukanlah hal asing dalam tata kelola pemerintahan modern.

Pemerintah pusat bahkan negara-negara maju mengandalkan instrumen pinjaman untuk menjaga keberlanjutan proyek strategis dan memacu pertumbuhan.

Karenanya, keliru jika pinjaman daerah buru-buru diposisikan sebagai ancaman atau sumber kekhawatiran tanpa menimbang urgensi pembangunan dan manfaat jangka panjang yang ingin dicapai.

Tantangan utama Maluku hari ini adalah kesenjangan pembangunan antarwilayah, minimnya pendapatan asli daerah, serta tersendatnya berbagai proyek vital akibat keterbatasan anggaran.

Infrastruktur dasar, jaringan konektivitas, peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan, hingga pembangunan ekonomi berbasis potensi kepulauan membutuhkan dukungan pembiayaan yang tidak mungkin dipikul APBD semata.

Dalam situasi seperti ini, pinjaman hadir sebagai jembatan fiskal yang memungkinkan percepatan tanpa harus menunggu dekade panjang.

Namun demikian, penggunaan pinjaman tentu menuntut kedisiplinan prioritas. Ia harus difokuskan pada proyek strategis, bukan sekadar kegiatan estetika atau pembangunan berbiaya besar yang minim dampak.

Setiap rupiah yang dipinjam harus bekerja untuk rakyat: membuka keterisolasian, menumbuhkan ekonomi, memperkuat pelayanan publik, dan menciptakan nilai tambah jangka panjang.

Jika nilai pinjaman sebesar Rp1,5 triliun dianggap belum cukup menopang kebutuhan transformasi pembangunan Maluku, tidaklah tabu untuk mempertimbangkan peningkatan menjadi Rp2–3 triliun, selama perencanaannya matang, basis akuntabilitasnya kuat, dan orientasinya jelas untuk kesejahteraan rakyat.

Percepatan pembangunan menuntut keberanian mengambil langkah besar bukan terjebak dalam ketakutan atau prasangka politik yang menghambat kemajuan.

Dukungan Taib Warhangan menjadi pengingat bahwa wacana pinjaman daerah harus ditempatkan pada proporsi yang tepat: sebagai instrumen kebijakan yang sah, rasional, dan potensial jika dikelola dengan transparan dan visioner. Ia bukan semata isu politis, melainkan peluang untuk memecah kebuntuan pembangunan yang selama ini membelenggu banyak wilayah di Maluku.

Pada akhirnya, persoalan pinjaman daerah bukanlah tentang boleh atau tidak boleh; melainkan tentang bagaimana ia digunakan. Selama diarahkan pada kepentingan strategis, membuka keterisolasian, serta mempercepat pembangunan yang lama tertinggal, pinjaman daerah layak dinilai sebagai langkah progresif menuju Maluku yang lebih maju, kuat, dan berdaulat secara ekonomi.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *