Saatnya Manusia Belajar Malu dari Putri Malu

Oleh: Said Latuconsina
(Pemerhati isu-isu Maritim)

Di tengah kemajuan zaman dan arus modernisasi yang kian deras, ada satu nilai yang perlahan terkikis dari kehidupan sosial kita: rasa malu.

Bacaan Lainnya

Ironisnya, di saat manusia semakin membanggakan akalnya, justru sebuah tumbuhan kecil bernama putri malu (Mimosa pudica) yang memberi kita pelajaran paling dasar tentang kesadaran diri dan kehormatan.

Ketika disentuh, putri malu spontan menutup daunnya. Reaksi ini bukan sekadar fenomena biologis, melainkan bentuk pertahanan diri cara sederhana tapi elegan untuk menjaga diri dari bahaya.

Sayangnya, manusia yang diberkahi akal budi sering kali gagal menjaga dirinya dari perilaku yang merusak, baik secara pribadi maupun sosial.

Realitas kehidupan menunjukkan bahwa hilangnya rasa malu telah menjadi gejala umum, terutama dalam lingkup kekuasaan dan kepemimpinan.

Praktik korupsi, gaya hidup hedonis, penyalahgunaan jabatan, hingga ucapan yang merendahkan rakyat kerap dilakukan tanpa rasa bersalah, apalagi malu.

Keadaan ini tidak hanya mencederai moral publik, tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap institusi negara.

Lebih menyedihkan lagi, di tengah himpitan ekonomi dan ketidakadilan sosial, segelintir elite justru memamerkan kemewahan dan kekuasaan, seolah tak ada empati terhadap penderitaan rakyat.

Fenomena ini mempertegas bahwa tanpa rasa malu, seseorang bisa kehilangan arah moral, bahkan menjadi ancaman bagi tatanan sosial.

Sebagai bangsa yang memiliki akar budaya maritim, kita seharusnya meneladani nilai-nilai luhur masyarakat pesisir: malu melanggar janji, malu merusak alam, malu mengkhianati sesama.

Nilai-nilai ini dulu menjadi perekat sosial yang kuat. Kini, ketika rasa malu tergeser oleh ambisi dan kepentingan sesaat, yang tersisa hanyalah kehampaan moral.

Editorial ini mengajak seluruh elemen bangsa untuk merenungi kembali makna rasa malu bukan sebagai bentuk kelemahan, tetapi sebagai pilar martabat dan keadaban.

Malu melakukan korupsi. Malu menyakiti sesama. Malu mencederai kepercayaan publik. Jika putri malu saja tahu cara menjaga diri, mengapa manusia justru kehilangan kemampuannya?

Saatnya kita belajar dari yang paling sederhana. Bukan demi nostalgia moral, tetapi demi masa depan bangsa yang lebih bermartabat.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *