fokuspost.com-Polemik yang muncul dari pernyataan Nataniel Elake soal “pendeta minta sumbangan” telah bergeser dari sekadar miskomunikasi menjadi potensi provokasi yang tidak perlu.
Di tengah situasi sensitif yang menyentuh relasi antarumat beragama, Abdullah Vanath tampil sebagai satu-satunya figur yang berani mengambil sikap tegas dan terbuka.
Vanath tidak hanya meluruskan interpretasi yang meloncat-loncat, tetapi juga menegaskan bahwa seorang terdidik seperti Elake semestinya mampu menempatkan pernyataan pada konteks yang benar.
Ini kritik keras, tetapi pantas, mengingat opini publik mudah digiring ketika tokoh tertentu melempar interpretasi tanpa kendali.
Yang membuat sikap Vanath mencolok adalah keberaniannya membuka ruang debat publik.
Tidak melalui unggahan samar.
Tidak melalui sindiran di balik layar.
Tapi langsung: terbuka, tatap muka, dan siap diuji argumen.
Inilah standar pemimpin: bukan mencari gaduh, tetapi menutup ruang bagi provokasi yang berpotensi membelah masyarakat.
Sikap Vanath ini sekaligus memperlihatkan perbedaan kelas kepemimpinan. Ketika ada pihak yang memilih mengunggah pernyataan di media sosial tanpa memperhitungkan dampaknya,
Vanath justru menawarkan ruang yang lebih sehat ruang debat, ruang klarifikasi, ruang intelektual. Ia menunjukkan bahwa pemimpin tidak boleh takut diuji, dan tidak boleh membiarkan kesalahpahaman memupuk keresahan sosial.
Kini bola berada di tangan Nataniel Elake.
Publik menunggu apakah ia memiliki keberanian yang sama: hadir, menjelaskan, mempertanggungjawabkan. Karena ketika seorang pejabat publik seperti Vanath sudah membuka pintu selebar-lebarnya, menghindar bukan lagi pilihan elegan.
Dalam momen ini, Abdullah Vanath memperlihatkan satu hal yang mungkin terlupa:
bahwa ketegasan tidak selalu berarti konflik kadang justru itulah cara terbaik merawat ketertiban.
Kaperwil Maluku (SP)







