Editorial oleh: Ruslan Arif Soamole (ketua PBB Buru)
Unjuk rasa adalah salah satu ekspresi paling nyata dari demokrasi. Ketika suara rakyat tak terdengar di ruang-ruang formal, jalanan menjadi mimbar terbuka.
Teriakan lantang tentang keadilan, kebenaran, dan perubahan sering kali bergema dari kerumunan yang marah namun penuh harap.
Tapi sayangnya, dalam realitas kita hari ini, unjuk rasa yang seharusnya menjadi ruang aspirasi, justru meninggalkan jejak luka.
Dalam beberapa waktu terakhir, berbagai kota di Indonesia kembali menjadi saksi unjuk rasa besar-besaran.
Di satu sisi, kita bisa memahami latar belakangnya ketimpangan sosial, kebijakan yang dianggap tidak berpihak, atau janji-janji yang tak kunjung ditepati.
Namun di sisi lain, di balik semangat perjuangan itu, kita melihat ironi yang menyayat: ada duka, ada luka, hilang harta, rusak fasilitas negara, hancur fasilitas umum.
Bahkan, tak jarang, nyawa melayang, jabatan hilang, dan masa depan seseorang hancur seketika.
Kita pun bertanya: unjuk rasa… siapa yang untung, siapa yang buntung?
Apakah rakyat kecil yang kehilangan tempat berdagang karena kiosnya terbakar ikut merasakan “kemenangan”?
Apakah para buruh yang dipecat karena ikut turun ke jalan benar-benar mendapatkan keadilan yang mereka perjuangkan?
Atau justru elite politik yang berada di balik layar, yang memanen keuntungan dari kekacauan yang terjadi?
Kondisi saat ini menuntut kita untuk jernih berpikir. Demokrasi memang memberikan ruang untuk bersuara, namun tanggung jawab moral dan sosial harus tetap menjadi fondasi.
Menyuarakan keadilan tidak bisa dibenarkan jika mengorbankan kedamaian dan keselamatan sesama.
Perjuangan yang mengabaikan etika dan merusak kepentingan publik hanya akan memperpanjang daftar korban, bukan menyelesaikan masalah.
Pemerintah pun harus berbenah. Unjuk rasa yang terus terjadi adalah sinyal keras bahwa ada yang salah dalam komunikasi dan kebijakan.
Transparansi, keterbukaan terhadap kritik, dan kehadiran negara dalam menyelesaikan masalah rakyat tidak bisa ditunda. Menekan suara rakyat dengan kekerasan atau kriminalisasi hanya akan menjadi bom waktu.
Pada akhirnya, unjuk rasa seharusnya menjadi alat kontrol sosial yang sehat, bukan ajang adu kekuatan yang menyisakan puing-puing luka.
Jika semua pihak mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas ego masing-masing, maka perjuangan akan menemukan jalannya—tanpa harus menukar keadilan dengan air mata.
Karena keadilan sejati tidak lahir dari kerusuhan, tapi dari keberanian untuk mendengar, berdialog, dan berubah.
Kaperwil Maluku (SP)