Di sebuah dusun kecil bernama Desa Persiapan Wamsait, Kecamatan Wailata, Kabupaten Buru, hidup seorang perempuan sederhana bernama Asna Lakui, 39 tahun.
Sehari-hari, Asna bekerja di Gunung Botak, tempat banyak orang menggantungkan hidup dari sisa-sisa tambang emas.
Namun Asna bukan penambang besar. Ia hanya seorang perempuan gigih yang setiap hari memungut buangan dari hasil tambang, berharap bisa menemukan serpihan kecil emas untuk dijual.
Dari hasil kerja keras, Asna perlahan menabung. Bertahun-tahun ia menahan lapar, menahan panas, menahan letih semua demi satu cita-cita suci: berangkat haji bersama suaminya.
Bagi Asna, menunaikan ibadah haji bukan hanya perjalanan spiritual, tapi juga bentuk rasa syukur setelah perjuangan panjang hidup di tanah yang keras.
Pada bulan September 2025, jumlah tabungannya di Bank BRI Cabang Namlea mencapai Rp 108.427.000.
Uang itu disimpannya dengan penuh harap dan doa. “Ini uang untuk naik haji saya dan suami,” ucap Asna lirih kepada tetangganya saat itu. Ia percaya, menyimpan di bank berarti uangnya aman.
Namun, kenyataan berkata lain.
Beberapa minggu setelahnya, Asna mencoba menarik uang.
Ia sudah pernah mengambil Rp 50 juta, dan masih seharusnya ada sekitar Rp 58 juta lebih di rekening.
Tapi saat melihat saldo di mesin ATM, yang tersisa hanyalah Rp 500 ribu.
Tangannya gemetar. Dunia seakan berhenti berputar.
Dengan air mata yang tak terbendung, Asna mendatangi Kepala Cabang BRI Namlea. Ia menceritakan semuanya dengan jujur dan penuh harap akan solusi.
Namun, jawaban yang diterima sungguh menghancurkan hati.
Pihak bank hanya mengatakan bahwa rekeningnya dibobol menggunakan ATM ganda.
Tak ada kejelasan siapa pelaku, tak ada jaminan uang akan kembali. BRI hanya menawarkan bantuan untuk mencetak rekening koran seolah nasabah hanya pantas menerima kertas, bukan keadilan.
Asna pulang dengan langkah lemah. Ia memeluk buku tabungannya yang kini tak berarti, sambil menatap foto Ka’bah yang sudah lama ia gantung di dinding rumah.
Di matanya, tampak kesedihan yang dalam. Bukan hanya karena kehilangan uang, tapi karena kehilangan mimpi suci yang ia bangun dari keringat dan air mata.
Kini, setiap kali mendengar orang lain menabung untuk haji, dada Asna terasa sesak.
Ia tak lagi percaya bahwa uang rakyat kecil aman di bank besar.
Baginya, BRI telah gagal menjaga kepercayaan nasabah sederhana seperti dirinya.
Mimpi Asna untuk menunaikan ibadah haji memang belum padam — tapi luka karena kehilangan tabungan hasil jerih payahnya di Gunung Botak akan sulit terhapus.
Di antara pasir dan batu yang dulu memberinya harapan, kini hanya tersisa sunyi dan kecewa.
Kaperwil Maluku (SP)







